Sukses

Perda KTR Berpotensi Timbulkan Ketidakpastian Usaha

Pengusaha meminta agara Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dievalusi.

Liputan6.com, Jakarta Para pelaku usaha menilai Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menimbulkan ketidakpastian usaha.

Ketua Departemen Mini Market Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Gunawan Indro Baskoro mengatakan pelaku usaha dibingungkan dengan Perda KTR Bogor.

"Peraturan ini saling bertolak belakang dan menimbulkan ketidakpastian usaha,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (13/2/2020).

Aprindo dan Pemerintah Kota Bogor melakukan pertemuan non-ligitasi yang difasilitasi Kementerian Hukum dan HAM. Kesepakatan pertemuan tersebut menyatakan bahwa Perda KTR Bogor harus diselaraskan dengan PP 109 Tahun 2012, namun justru diabaikan.

“Sebelumnya kami juga sudah berkonsultasi dengan berbagai kementerian dan semua sepakat bahwa peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tetapi kenyataannya kesepakatan itu tidak diindahkan,” katanya.

Agar tak lagi membingungkan masyarakat, Gunawan berharap evaluasi terhadap Perda KTR Bogor  segera dilakukan.

"Di tingkat nasional rokok tidak dilarang dipajang, tapi di Bogor dilarang. Ini menjadi preseden bahwa peraturan di daerah kontradiktif dengan peraturan nasional dan membingungkan pengusaha,” pungkasnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Uji Materi di MA

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai positif upaya uji materi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Bogor Nomor 10/2018 di Mahkamah Agung.

 

Menurut Trubus, larangan yang tertera pada pasal 16 Perda KTR Bogor No 10 Tahun 2018 merugikan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas terkait suatu produk.

Trubus berharap MA dapat mengabulkan permohonan para pedagang untuk membatalkan beberapa pasal dalam Perda KTR Bogor.

Setelah itu, Perda KTR Bogor perlu dikaji dan dievaluasi kembali dengan melibatkan masyarakat agar tidak ada satu pasal pun yang merugikan masyarakat.

“Harusnya semua harus sinkron, karena idealnya semua aturan harus diharmonisasi,” tegas Trubus.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.