Sukses

OJK Diminta Tanggung Jawab Soal Carut Marut Industri Keuangan Indonesia

Kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menjadi sorotan terkait banyaknya kasus yang mencuat di industri asuransi

Liputan6.com, Jakarta - Kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menjadi sorotan berbagai pihak. Hal ini terkait banyaknya kasus yang mencuat terkait industri keuangan Indonesia, salah satunya industri asuransi.

Pengamat BUMN, Said Didu menyebutkan OJK diminta harus ikut bertanggung jawab soal carut marut industri asuransi di Indonesia yang terjadi belakangan ini.

 

"Saya sepakat memang kepercayaan harus dikembalikan, salah satu caranya dengan menghukum juga OJK. Kalau OJK belum dihukum, publik tidak akan pernah kembali percaya," ujarnya di Jakarta, Rabu, (29/1/2020).

Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa OJK dituntut bertanggung jawab dalam kasus industri asuransi.

Pertama, kata dia, semua produk asuransi yang akan dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus atas persetujuan dari OJK.

Kedua, semua pejabat seperti Komisaris hingga jajaran Direksi perusahaan asuransi harus diuji oleh OJK. Ketiga, semua laporan keuangan asuransi dan langkah investasi perseroan dilaporkan ke OJK.

 "Jadi OJK menentukan produk, orang, investasi, dan sahkan laporan keuangan. Jadi dia semua yang tanggungjawab. Tapi kenapa kok OJK tidak disentuh?" katanya.

Said Didu memaparkan, hingga saat ini telah terjadi 300 ribu kasus penipuan di sektor jasa keuangan. "Data dari saya menunjukan penipuan keuangan udah sampe 300 ribu. Tapi OJK kan ga pernah kena sanksi apapun," tegasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Daftar Kasus di Industri Keuangan

Sebagai informasi, industri keuangan memang tengah dirundung masalah. Pertama, kasus gagal bayar Jiwasraya yang berujung pada terungkapnya kasus korupsi di tubuh perusahaan. Kedua PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata atau ASABRI (Persero) yang juga mengalami kasus serupa.

Ketiga, kasus gagal bayar AJB Bumiputera. Hal itu awalnya terkuak pada 2010 lalu, di mana kemampuan AJB Bumiputera dalam memenuhi kewajibannya, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek alias solvabilitas hanya 82 persen. 

Ini artinya, AJB Bumiputera tidak bisa mematuhi amanat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 504 Tahun 2004 tentang solvabilitas perusahaan asuransi yang mencapai 100 persen. Pada 2012 lalu, jumlah aset yang dimiliki hanya Rp12,1 triliun, tapi kewajiban perusahaan tembus Rp22,77 triliun. 

Keempat, Muamalat yang kini sedang mencari investor baru untuk menambah permodalan perusahaan. Kinerja keuangan Bank Muamalat semakin merosot pada semester I 2019. Laba bersih perusahaan anjlok hingga 95,09 persen menjadi Rp 5,08 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp103,73 miliar. 

Penurunan laba bersih sejalan dengan merosotnya pendapatan setelah distribusi bagi hasil perusahaan sebesar 68,1 persen. Alhasil, Bank Muamalat hanya membukukan pendapatan setelah distribusi bagi hasil sebesar Rp 203,34 miliar pada semester I 2019 dari sebelumnya Rp 637,54 miliar. 

Sementara, rasio kecukupan modal atau kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank Mumalat juga turun dari 15,92 persen pada semester I 2018 menjadi 12,01 persen pada semester I 2019.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.