Sukses

Rantai Pasok Indonesia di Dunia Masih Rendah

Bank Dunia menyebut keikutsertaan Indonesia dalam Rantai Nilai Global (RNG) masih lemah.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia merilis World Development Report (WDR) edisi 2020 yang mengangkat tema 'Trading for Development in the Age of Global Value Chains'. Dalam laporan terbaru itu, Bank Dunia menyebut keikutsertaan Indonesia dalam Rantai Nilai Global (RNG) masih lemah.

Chief Economist of the East Asia and Pacific Region of the World Bank, Aaditya Mattoo menyampaikan Indonesia memiliki beberapa segi yang bertolak belakang dalam RNG. Sebab, sebagai pengekspor komoditas mentah, seperti minyak kelapa sawit dan batubara, partisipasi Indonesia terbilang cukup tinggi.

Sementara, sebagai importir dari bahan kain dan besi baja untuk diproduksi kembali menjadi pakaian jadi dan kendaraan roda empat, partisipasi Indonesia masih rendah.

"Sebagai bukti, proporsi ekspor Indonesia untuk produk pakaian jadi, elektronik, dan suku cadang mobil ke negara-negara maju menurun. Sementara ekspor produk serupa negara-negara tetangga meningkat," kata Aditya dalam Laporan World Development Report 2020 Bank Dunia, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (28/1/2020).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Masih Berbasis Bahan Mentah

Aditya mengatakan di Indonesia komoditas mentah yang ada selama ini memang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, terutama ketika harga komoditas sedang melonjak.

Sebaliknya, Indonesia masih lemah dalam mengembangkan industri manufaktur, tercermin dari tidak efektifnya upaya menopang kesuksesan yang telah dicapai.

"Itu mengapa dalam RNG, mengimpor untuk diekspor kembali menjadi tantangan khusus dalam era saat ini," ujarnya.

Dalam RNG mengimpor untuk mengekspor merupakan inti dari RNG. Namun, posisi Indonesia terbilang tidak mudah dan menjadi sulit bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mengimpor. Sebab, biaya inspeksi pengiriman setara dengan 41 sen per dollar AS dari harga produk impor itu sendiri.

Sementara di Indonesia, pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebanyak 29 sen, dengan persetujuan impor sebanyak 13 sen.

 

3 dari 3 halaman

Biaya Transportasi Tinggi

Kelemahan Indonesia dalam memanfaatkan RNG lainnya, juga diperdalam oleh tingginya biaya transportasi. Hal ini disebabkan oleh peraturan yang membebani dan distorsi dalam harga pelabuhan (port pricing).

Di samping itu, proses pre clearance dan clearance untuk impor di Indonesia memakan waktu 200 jam, lima kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Malaysia. Terlebih, lembaga yang menjaga persaingan di Indonesia termasuk yang terlemah di dunia.

"Biaya penggunaan fasilitas pelabuhan (port dues) di Tanjung Priok lima kali lipat dari pelabuhan di Singapura dan dua setengah kali lipat dari pelabuhan di Yangon," ujarnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.