Sukses

Pembuktian Hukum Karhutla Harus Didukung Bukti Ilmiah

Penyelesaiannya di persidangan terkait karhutla harus melalui bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Liputan6.com, Jakarta - Para pemangku kepentingan sepakat untuk menjadikan bukti ilmiah (scientific evidence) sebagai dasar dari legal evidence (bukti hukum) dalam penyelesaian perkara kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Hal ini agar masyarakat dan korporasi tidak lagi menjadi korban putusan hukum yang salah serta hanya berdasarkan tekanan kelompok tertentu dan LSM.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam The 2nd International Conference on Natural Resources Environmental Conservation bertema Industrial Forest and Oil Palm Plantation Fire, Impacts and valuation of the Environmental Losses, di Bogor Jumat (29/11/2019), kemarin.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, pihaknya setuju dengan penegakan hukum dalam penyelesaian kasus karhutla, namun penyelesaiannya di persidangan tetap harus melalui bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Scientific evidence sangat penting sebagai dasar penyelesaian sengketa kahutla agar putusan hukumnya punya rasa keadilan. Selama bertahun-tahun, penyelesaian karhutla hanya sepihak yakni menggiring opini bahwa perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri sebagai penyebab utama karhutla,” kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).

 

Menurut Musdalifah, karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit. Selain faktor manusia, bencana alam seperti el Nino serta peran dari tanggung jawab pengelola kawasan menjadi penting dalam penanganan karhutla.

Selama ini, ungkap Musdalifah hanya karena sentimen kelompok tertentu, semua kesalahan ditimpakan pada satu pihak yakni industri sawit. Pihak-pihak ini perlu memahami bahwa Indonesia perlu membangun aktivitas industrinya melalui sawit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sebagai pemerintah saya punya kepentingan untuk menjaga pertumbuhan sawit nasional,” kata Musdalifah.

Kemenko, kata Musdalifah mengusulkan agar penyelesaian karhutla bisa diprioritaskan pada deteksi dini (early warning) dan pencegahan. Kalau melihat polanya, umumnya karhutla terjadi dalam 3-4 bulan dalam setahun.Seharusnya 8 bulan tersisa dimanfaatkan untuk membangun kluster pengendalian karhutla dengan melibatkan masyarakat.

“Kebakaran tidak sekedar mematikan api kemudian mencari tersangka dan menghukumnya. Perlu dipertimbangkan, suatu kawasan terkelola dengan baik agar kebakaran tidak perlu terjadi berulang,” kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perlu Kajian Berbasis Data

Pentingnya bukti ilmiah juga dikemukakan Dirjen Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani yang diwakili Direktur Penegakan Hukum Pidana Ditjen Gakkum LHK Yazid Nurhuda.

Menurut Yazid pembuktian ilmiah sebagai dasar dan bukti hukum dalam konteks beracara di pengadilan agar menjadi solusi dalam penyelesaian karhutla di Indonesia. Karena itu, peran dari para saksi ahli yakni para akademisi menjadi sangat penting.

“Berdasarkan sampel hasil uji laboratorium, saksi ahli akan menetapkan scientific evidence menjadi legal evidence melalui surat keterangan saksi ahli. Hal ini akan menjamin kepastian hukum,” ujar dia.

Wakil Rektor IPB Prof Dr Agus Purwito Msc Agr mengingatkan perlunya kajian berbasis data ilmiah untuk menyelesaikan kasus kebakaran hutan di Indonesia.

“Kajian ilmiah diperlukan agar berbagai persoalan yang jadi penyebab kebakaran bisa diselesaikan. Pasalnya, karhutla di Indonesia tidak hanya merugikan dari sisi investasi, tetapi banyak hal seperti kesehatan manusia dan hubungan antara negara," ungkap dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.