Sukses

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Cabut Izin Tambang di Pulau Wawonii

Warga sudah mulai merasakan dampak dari daya rusak tambang nikel di pulau Wawonii.

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak izin usaha pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara dicabut. Permintaan tersebut didasarkan pada sejumlah alasan, di antaranya pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan.

Dari segi hukum, pertambangan di pulau Wawonii melanggar UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau-pulau Kecil.

Pasal 35 UU tersebut menyatakan, dalam memanfaatkan wilayah pesisir pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis atau sosial menimbulkan kerusakan lingkungan atau merugikan masyarakat sekitar.

"Pulau Wawonii adalah pulau kecil, karena luasnya hanya 715 km persegi. Dengan demikian, pertambangan nikel di pulau ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No 27 tahun 2007," kata Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, di Jakarta, Senin (11/11/2019).

Kepala Kampanye JATAM, Melky Nahar mengatakan, dari sisi lingkungan hidup, pertambangan di pulau Wawonii telah menyebabkan krisis ekologi. Menurut dia, setiap tahun banjir bandang selalu terjadi di pulau tersebut. Sebelumnya, kata dia, banjir tidak terjadi sebelum adanya proyek tambang.

"Saat ini, warga sudah mulai merasakan dampak dari daya rusak tambang nikel di pulau Wawonii. Pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang lebih tinggi dibanding pulau-pulau besar," ujar dia.

Kerusakan juga terjadi di wilayah pesisir pulau. Terutama di desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Selatan, tempat dibangunnya pelabuhan khusus untuk menunjang proyek tambang. Lebih dari dua hektare terumbu karang mengalami kerusakan yang cukup parah.

Kini masyarakat kesulitan menemukan ikan-ikan karang. Meski lokasi pertambangan terletak di atas hutan, tapi limbahnya akan berakhir di pesisir. Dalam jangka waktu lama, kerusakan terumbu karang akan meluas jika proyek tidak dihentikan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Berdampak ke Nelayan

Kerusakan ekosistem pesisir juga berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat nelayan di Kecamatan Wawonii Selatan dan Wawonii Tenggara. Nelayan melaporkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan setelah adanya proyek tambang nikel.

Jika sebelum tambang, nelayan bisa menangkap 50 kg gurita tiap hari, maka setelah ada proyek tambang nikel, nelayan hanya bisa menangkap 5 kg gurita saja. Jika sebelumnya nelayan bisa menangkap ikan ekor kuning dan ikan sunu sebanyak 1.000 kg tiap hari, maka setelah ada proyek tambang nikel, masyarakat hanya bisa menangkap di bawah 100 kg tiap hari.

Sementara KontraS juga melakukan investigasi terkait upaya kriminalisasi terhadap 27 masyarakat Wawonii. KontraS menemukan secara umum 27 orang tersebut dituduh melakukan perlawanan terhadap kegiatan perusahaan sehingga pasal yang dikenakan seputar pasal 333 KUHP tentang Perampasan Kemerdekaan dan pasal 162 UU Mineral dan Batubara tentang penghalangan kegiatan perusahaan.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini