Sukses

Tolak Revisi PP 109/2012, Asosiasi Rokok Bakal Surati Presiden Jokowi

Salah satu poin revisi PP 109/2012 adalah memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen di bungkus rokok.

Liputan6.com, Jakarta - Tiga asosiasi Industri Hasil Tembakau (IHT), yakni Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), meminta Presiden Jokowi memperhatikan kelangsungan industri tembakau dari ancaman kebijakan yang akan mematikan IHT.

Hal ini terkait adanya usulan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk merevisi Peraturan Pemerintah 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang dinilai akan memberikan dampak negatif yang luar biasa bagi IHT, baik dari sisi keberlangsungan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Maka itu, ketiga asosiasi ini secara tegas menolak rencana revisi PP 109/2012.

“Kami akan segera menyurati Bapak Presiden untuk menyuarakan dan menjelaskan penolakan kami atas usulan revisi PP 109/2012. Kami harap beliau dapat mempertimbangkan dan merumuskan keputusan yang tepat,” jelas Ketua Umum Gaprindo Muhaimin Moefti dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (8/11).

 

Moefti meyakini bahwa Presiden dan kabinet barunya dapat mendengarkan aspirasi dari para asosiasi pelaku IHT yang memiliki kontribusi besar dalam menggerakkan perekonomian negara.

Sebelumnya, beredar pemberitaan bahwa Kemenkes memberikan usulan terkait rancangan revisi PP 109/2012. Beberapa poin revisi tersebut adalah memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen di bungkus rokok, pelarangan bahan tambahan dan melarang total promosi dan iklan di berbagai media, dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak.

“Kami melihat bahwa pemerintah, khususnya Kemenkes, belum melakukan upaya konkret dalam mencegah perokok anak. Ironisnya, malah industri yang melakukan inisiatif pencegahan anak merokok. Ini seolah-olah kami dihukum akibat kelalaian mereka dalam menjalankan tugasnya. Kami bersedia diatur, tapi jangan dilarang,” ujar Moefti.

Apalagi kata Moefti, asosiasi tidak pernah dilibatkan dalam proses perumusan. Justru informasi wacana revisi diketahui dari pemberitaan media. Padahal industri sudah terpukul dengan kenaikan cukai sebesar 23 persen yang akan mulai berlaku pada Januari 2020.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Aturan yang Ada Masih Relevan

Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRI) Henry Najoan berharap Pemerintah tidak melanjutkan revisi PP 109/2012. Henry menilai aturan yang ada saat ini masih sangat relevan untuk dijalankan.

“Kita di industri makin berat. Awalnya pengamanan, lalu pengendalian. Sekarang, kalau usulan revisi ini dilanjutkan, maka akan jadi pelarangan tembakau. Kami ini produk legal, sesuai Putusan MK No. 54 Tahun 2008 dan No. 6 Tahun 2009. Usaha itu patut dilindungi. Saat ini, IHT diatur dengan lebih dari 200 peraturan. Jadi, IHT itu selain padat karya, juga padat aturan. Untuk itu, demi keberlangsungan industri, sebaiknya wacana revisi itu tidak dilanjutkan,” jelas Henry.

Henry juga sangat menyayangkan sikap Kementerian Kesehatan yang tidak pernah melibatkan para pelaku industri dalam pembahasan revisi PP 109/2012. Padahal berdasarkan Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan pasal 96, setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparan pada setiap tahap perumusannya. Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi tersebut.

Sekjen Formasi Suhardjo mengatakan, pihaknya menentang keras rencana revisi PP 109/2012 dan menganggap usulan revisi hanya akan mengusik kedaulatan negara

“Kekhawatiran kami, dr. Terawan belum mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai isu tersebut dan dampaknya terhadap IHT yang telah menyerap lebih dari 6,1 juta tenaga kerja dari hulu hingga hilir dan berkontribusi lebih dari Rp 200 triliun pada penerimaan negara. Bisa jadi ini hanya usulan dari segelintir pejabat Kemenkes yang memiliki agenda khusus dalam mematikan IHT nasional,” kata Suhardjo.

Revisi PP 109/2012 dinilai tak sejalan dengan semangat pemerintahan Jokowi yang mendorong adanya transparansi dalam proses pembuatan peraturan-perundang-undangan serta mempermudah kegiatan investasi dan berusaha, yang berorientasi pada penciptaan lapangan pekerjaan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.