Sukses

Profil Suryo Utomo, dari Staf Ahli Menkeu Jadi Dirjen Pajak

Mengenal Suryo Utomo yang dilantik menjadi Dirjen Pajak hari ini.

Liputan6.com, Jakarta - Suryo Utomo resmi dilantik menjadi Direktur Jenderal Pajak menggantikan Robert Pakpahan. Robert Pakpahan sendiri telah memasuki masa purnabakti pada Oktober 2019.

Suryo Utomo merupakan Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak. Pria kelahiran Semarang ini ternyata langsung ke dunia perpajakan ketika ia memulai karier di Kementerian Kementerian Keuangan pada tahun 1993.

Menurut informasi resmi Kemenkeu, Suryo Utomo lulus dari Universitas Diponegoro pada tahun 1992 dan langsung menjadi PNS di tahun 1993. Suryo pun melanjutkan studinya di University of Southern California dan mendapat gelar Master of Business Taxation pada tahun 1998.

Pada tahun yang sama, ia menjabat sebagai Kepala Seksi PPN Industri, lalu lanjut sebagai Kepala Seksi Pajak Penghasilan Badan pada tahun 2002.

Bagaikan pajak progresif, karier Suryo Utomo di dunia pajak pun terus meningkat seiring bertambahnya pengalaman. Pada tahun 2002, dia dipromosikan menjadi Kepala Subdirektorat Pertambahan Nilai Industri dan empat tahun kemudian menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga.

Pada Maret 2009, Suryo dipromosikan menjadi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengan I. Pada tahun 2010, ia pun menjadi Direktur Perpajakan I.

Suryo Utomo kemudian dipercaya menjadi Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian pada tahun 2015. Beberapa bulan kemudian, ia pun diangkat menjadi Staf Ahli Menteri Keuangan di Bidang Kepatuhan Pajak.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tugas Pajak: Mengejar Netflix

Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana mengejar pajak industri digital seperti Netflix. Netflix adalah salah satu penyedia layanan media streaming digital yang berkantor pusat di Los Gatos, California.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, mengejar pajak perusahaan besar seperti Netflix merupakan pekerjaan besar. Sebab, perusahaan itu bukan merupakan badan usaha tetap (BUT) yang tinggal di Indonesia.

"Ini merupakan PR kita karena ada perusahaan-perusahaan yang belum memiliki permanent establishment atau BUT, sehingga di dalam pengumpulan penerimaan perpajakannya menjadi terhalang oleh undang-undang kita sendiri," ujarnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, 29 Oktober 2019.

Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah tengah menyiapkan aturan sebagai landasan untuk memungut pajak dari sektor digital. Meski demikian, dia memastikan perusahaan digital yang mengambil keuntungan dari Indonesia wajib menyetor pajak.

"Di dalam undang-undang yang kita usulkan selesai, bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT, badan usaha tetap di Republik Indonesia atau permanent establishment, tapi aktivitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan. Oleh karena itu, mereka wajib untuk membayar pajak," ucapnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, di dunia tak hanya Indonesia yang berupaya mengejar pajak Netflix. Ada juga negara-negara lain, seperti Australia dan Singapura.

"Di Australia, di Singapura mereka sudah menetapkan untuk mengutip pajak dari Netflix ini. Namanya Netflix Tax bahkan di sana. Jadi, pasti kita akan bersungguh-sungguh dengan melihat volume aktivitasnya di sini, meskipun belum ada undang-undangnya, tapi kami akan cari cara untuk tetap mendapatkan hak perpajakan kita," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Sri Mulyani Dipertanyakan Tak Pisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu

Sri Mulyani Indrawati menyatakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tak akan dipisahkan dari Kementerian Keuangan dalam waktu dekat ini.  Langkah ini dinilai kurang tepat karena bertentangan dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Seperti diungkapkan Ekonom Dradjad H Wibowo, dia memparkan visi dan misi Jokowi saat berduet dengan Jusuf Kalla (JK) pada Pilpres 2014. Menurut dia, ada dua visi dan misi Jokowi yang mencakup bidang fiskal. 

Pertama, merancang ulang lembaga pemungutan pajak berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan. “Kedua melakukan desain ulang arsitektur fiskal Indonesia,” ujar da, seperti dikutip Sabtu (26/10/2019).

Mantan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan, kedua visi tersebut tercantum secara eksplisit dalam Visi Misi dan Program Aksi Jokowi-JK. “Tepatnya di halaman 39 butir 8 sub-butir 3 dan 4,” ucapnya.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, Jokowi juga telah menuangkan visi itu ke dalam dokumen negara melalui Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Dalam buku I RPJMN 2015-2019 tertera bahwa pengumpulan pendapatan atau penerimaan negara, termasuk perpajakan, dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus yang berada langsung di bawah presiden, tapi tetap di bawah koordinasi menteri keuangan.

“Jadi, pernyataan Menkeu Sri Mulyani tersebut jelas bertentangan dengan visi misi Presiden yang sudah menjadi dokumen negara yang dituangkan melalui Perpres 2/2015,” kata dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan tidak ada rencana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan, ataupun pembentukan Badan Penerimaan Negara dalam waktu dekat di Kabinet Indonesia Maju.

"Tidak ada perubahan kelembagaan sampai sekarang jadi kita tetap beroperasi seperti sekarang," kata Sri Mulyani, seperti mengutip Antara.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.