Sukses

Cerita Suwito Harsono, Perjuangan Indonesia Edarkan Rupiah di 1946

Tahukah kamu dulu ada uang Pematang Siantar? Berikut kisah Suwito Hasono soal uang republik zaman revolusi.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia baru saja merayakan Hari Oeang pada tanggal 30 Oktober. Hari tersebut mengenang hari ketika Indonesia mempertegas identitasnya sebagai negara berdaulat dengan mencetak uang bangsa sendiri, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) ketimbang memakai uang terbitan Belanda.

Pakar uang zaman revolusi Suwito Harsono bercerita bagaimana uang saat itu merupakan sebuah identitas bangsa Indonesia. Sebab, tanda dari negara berdaulat adalah memiliki mata uang sendiri.

"Uang itu selain dia berfungsi alat bayar untuk para pegawai negeri waktu itu, tetapi itu juga suatu identitas bahwa republik ini sudah ada dan eksis. Karena sebuah negara yang berdaulat ditandai salah satunya adalah dia punya uang sendiri," ujar Suwito kepada Liputan6.com, Kamis (31/01/2019).

Ceritanya, ternyata, transisi dari uang Belanda ke rupiah tidaklah mulus. Pihak Kerajaan Belanda pun tak segan menggunakan militer agar uang Indonesia tidak beredar luas. Akibatnya, mata uang juga merupakan bagian perang antara Indonesia dan Belanda.

Menurutnya, sejak uang Indonesia diumumkan pada 30 Oktober 1946, Belanda tak segan melakukan penjegalan lewat taktik militer atau ekonomi (inflasi). Kala itu wilayah Indonesia hanya meliputi pulau Jawa dan Sumatera, dan militer Belanda pun mempersulit peredaran uang di dua pulau itu.

Pemerintah Indonesia pun tak kehabisan inisiatif untuk mengedarkan uang bangsa sendiri. Akhirnya, Gubernur Provinsi Sumatera Teuku Muhammad Hasan mengeluarkan aturan percetakan Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (ORIPS).

Lanjut dia, fenomena unik pun muncul di tengah kecamuk revolusi, yakni kemunculan variasi uang di Sumatera yang digunakan masing-masing daerah. Misal, ada uang Labuhanbatu, uang Rantau Prapat, uang Kutaraja, uang Langsa, uang Tapanuli, uang Nias, uang Bukitbarisan, uang Lampung, uang Palembang, uang Dempo, dan sebagainya.

"Karena tahun 1947 itu terjadi Agresi Belanda dibom lah kota-kota itu sehingga antara provinsi enggak bisa berhubungan. Jalan-jalannya semuanya dibom dan kota dikuasai Belanda, sehingga diperintahkan semua kepala-kepala daerah baik camat maupun bupati, residen, untuk mencetak uang sendiri, sehingga uang-uang itu beredar antar daerah itu cuman di lokal daerah itu sendiri," Suwito mengisahkan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dikejar Bombardir Belanda

Desain uang yang beredar saat itu juga sederhana. Itu tak terlepas dari kejaran Belanda sehingga desain belum menjadi prioritas utama. Bombardir pun terus dilakukan Belanda, bahkan para pejuang harus memboyong alat pencetak uang dari satu lokasi ke lokasi lain.

"Waktu itu mesin-mesin cetak itu memang dibawa, digotong ramai-ramai. Jadi misalnya kita cetak di satu daerah, kalau daerah itu dibom misalnya, itu move. Contohnya, bahwa ibu kota Sumatera waktu itu di Pematang Siantar. Dicetaklah uang Pematang Siantar untuk kebutuhan seluruh Sumatera," jelas Suwito.

"Tetapi karena Pematang Siantar dibom, akhirnya para pimpinannya mereka bergerak ke Bukittinggi. Nah, percetakannya juga dibawa ke sana. Yang masih tersisa dan terbebas dari pemboman itu dibawa," tuturnya melanjutkan.

Uang-uang itu berlaku hingga 27 Desember 1949 saat Indonesia berhasil diakui sebagai negara berdaulat. Pada saat itu barulah Bank Indonesia yang mencetak uang untuk seluruh Indonesia.

3 dari 3 halaman

Menuliskan Buku

Menurut Suwinto, banyak orang yang belum mengapresiasi keunikan uang zaman revolusi tersebut. Ia pun menghabiskan waktu selama dua tahun untuk menulis buku perdananya berjudul ORIDA: Oeang Republik Indonesia Daerah 1947-1949.

Buku itu mengulas secara lengkap dan detail soal uang-uang daerah yang dulu beredar di Indonesia. Ini akan menjadi satu-satunya referensi yang secara ekstensif membahas topik tersebut dan diharapkan bisa menginspirasi berbagai kalangan. 

Kepada pembaca muda, Suwito yakin buku ini bisa menanamkan rasa nasionalisme agar anak muda paham sejarah panjang keuangan negara. Sementara, pembaca yang usianya lebih tua diharapkan bisa terdorong untuk menjadi kolektor dan memahami nilai uang-uang zaman revolusi.

"Untuk mereka yang masih muda-muda rasa cinta tanah air akan ditanamkan bahwa mereka jadi mengetahui bahwa ternyata uang perjuangannya itu enggak gampang. Waktu itu perjuangannya sampai menggaji pegawai saja negara Indonesia tak punya uang sendiri, sehingga dengan buku ini patriotisme boleh terbangun, rasa persaudaraan boleh menjadi kental," ujar Suwito.

"Untuk yang usia 40 tahun, yang keuangan sudah oke, mungkin buku ini akan menjadi suatu bahan koleksi agar mereka bisa mulai hunting. Mereka bisa mulai mencari-cari, siapa tahu mereka punya kakek-nenek (yang punya uang lama) jadi mereka punya referensinya agar jangan jual murah-murah," pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.