Sukses

HEADLINE: Tunggak BPJS Kesehatan Tak Bisa Urus SIM dan Paspor, Efektif Naikkan Kepatuhan?

Peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran akan kena konsekuensi saat membutuhkan pelayanan publik.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mencari berbagai cara untuk mengatasi defisit. Pemerintah tak bisa terus menerus menalangi defisit tersebut.

Beberapa langkah pun dijalankan. Pertama dengan menaikkan iuran anggota. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya bisa mencapai 100 persen. Langkah lain yang sedang digodok adalah menegakkan sanksi kepada penunggak iuran BPJS Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, masyarakat atau peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran akan kena konsekuensi saat membutuhkan pelayanan perpanjangan SIM, pembuatan paspor, IMB dan lainnya.

"Aturannya sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik. Selama ini sanksi ada tapi hanya tekstual tanpa eksekusi, karena itu bukan wewenangnya BPJS Kesehatan," kata Fachmi belum lama ini.

Fachmi menjelaskan, sanksi layanan publik kepada anggota yang menunggak iuran sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Dalam regulasi itu mengatur mengenai sanksi tidak bisa mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK) bila menunggak membayar iuran BPJS Kesehatan.

Namun Fachmi menyampaikan bahwa sanksi tersebut tidak ada satu pun yang pernah dilaksanakan karena institusi terkait yang memiliki wewenang. Hasilnya, tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri atau PBPU yang berjumlah 32 juta jiwa hanya sekitar 50 persen.

Nah, dalam aturan baru yang akan dituangkan dalam instruksi presiden tersebut, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan. Dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.

Saat ini BPJS Kesehatan juga telah menerapkan sistem autodebet bagi peserta yang baru mendaftar. Akun bank peserta secara otomatis akan berkurang jumlahnya untuk dibayarkan iuran kepada BPJS Kesehatan.

Namun sistem autodebet tersebut masih memungkinkan gagal apabila peserta sengaja tidak menyimpan uang pada nomor rekening yang didaftarkan lalu membuka akun bank baru.

Oleh karena itu Fachmi berharap pada regulasi mengenai automasi sanksi akan meningkatkan kepatuhan dan kepedulian masyarakat dalam membayar iuran.

 

Koordinasi

Direktur Registrasi dan Identifikasi Korps Lalu Lintas Polri, Brigjen Halim Pagarra tak menampik bahwa telah ada pembahasan antara instansinya dengan BPJS Kesehatan mengenai otomatisasi sanksi tersebut.

Menurut Halim, beberapa kali pihaknya diundang BPJS Kesehatan membicarakan tentang sanksi bagi penunggak iuran. "Sudah lama. Saya beberapa kali pertemuan," kata Halim kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (10/10/2019).

Dalam pertemuan itu, BPJS Kesehatan meminta kepada Polri menolak permohonan pembuatan SIM bagi penunggak iuran. Selain permohonan SIM, BPJS Kesehatan ternyata juga meminta Polri menolak permohonan perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

"Bukan hanya SIM. STNK juga dia (pihak BPJS Kesehatan) minta," ucap Halim.

Halim mengungkapkan, pihaknya menolak dengan usulan sanksi tersebut. Sebab, tidak ada aturan dan undang-undang yang menolak pengajuan pembuatan SIM dan STNK.

"Sebenarnya dari kita menolak. Kan dalam aturan undang-undang tidak menyebutkan demikian," ungkap Halim.

Halim menyebut, sanksi tersebut justru menghambat pelayanan Polri kepada masyarakat. Apalagi, dalam pengajuan pembuatan SIM bukan hanya Polri saja yang terlibat, tetapi ada instansi lainnya yaitu Samsat, Jasa Raharja, dan Ditjen Pajak.

Sementara  Kasubbag Humas Ditjen Imigrasi, Sam Fernando mengaku sudah mengetahui usulan sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran. Satu di antaranya mereka ditolak mengajukan pembuatan paspor.

Namun, Fernando memastikan, pihaknya belum pernah diundang berbicara oleh pihak BPJS Kesehatan terkait rencana pemberian sanksi tersebut.

"Terkait hal ini belum ada pembicaraan dengan pihak BPJS terkait dengan penerapan sanksi," ucap Fernando.

Selain itu, kata Fernando, pihaknya belum mengantongi data seluruh peserta BPJS Kesehatan. Sehingga pihaknya belum bisa memutuskan apakah bisa mendukung penerapan sanksi tersebut.

"Kami sampai saat ini menunggu aturan terkait dengan tata cara dan mekanisme penerapan sanksi tersebut. Karena tentunya hal ini harus disinkronkan dengan kesisteman yang ada di imigrasi, di samping payung hukum yang mengaturnya," tutup Fernando.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ditolak Banyak Pihak

Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Era Presiden Abdurrahman Wahid menolak keras wacana pemberian sanksi tidak bisa mengurus SIM, STNK, paspor dan sertifikat tanah bagi para penunggak iuran BPJS.

Secara prinsip baik bahwa harus ada alat penekan bagi peserta BPJS patuh membayar, tapi harus diingat bahwa kendaraan bermotor roda dua bagi masyarakat adalah alat produksi. "Kasihan tukang ojek, karyawan usaha kecil yang naik motor pergi bekerja," kata Rizal.

Pengamat asuransi, Hotbonar Sinaga menilai sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu bagi yang menunggak iuran BPJS Kesehatan sangat tidak manusiawi.

"Itu sih cara yang kurang manusiawi walau mungkin efektif. Direksi mesti cari cara lain yang inovatif dong. Sekalian aja pakai debt collector yang bertentangan dengan Pancasila. Kalau untuk perusahaan yang nunggak, bukan individu bolehlah ngancam seperti itu," tuturnya kepada Liputan6.com.

Senada, Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan BPJS Kesehatan sebaiknya meningkatkan mutu pelayanan terlebih dahulu untuk menggugah masyarakat disiplin membayar iuran.

"Saya mendukung adanya sanksi tidak dapat layanan publik, tapi sebelum memberikan sanksi tersebut hendaknya BPJS kesehatan meningkatkan pelayanannya kepada peserta sehingga masyarakat tergugah untuk disiplin membayar iuran," ujarnya kepada Liputan6.com.

"Ini yang utama, karena sustainability kesadaran membayar iuran akan terjadi. Kalau hanya mengandalkan sanksi PP 86 saja maka tidak menjamin keberlanjutan kesadaran membayar iuran. Bisa saja ketika mau ngurus SIM dibayar dulu tunggakannya, tapi setelah itu menunggak lagi karena SIM kan 5 tahun sekali," tambah dia.

Timboel pun berharap, pemerintah serius dalam menangani masalah yang membelenggu BPJS Kesehatan.

"Saya berharap presiden memberikan evaluasi atas kinerja lembaga, kementerian dan pemda terkait dengan dukungan mereka kepada JKN," kata dia.

 

3 dari 4 halaman

Tak Bikin Jera

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana pemberian sanksi untuk penunggak iuran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, berupa tidak bisa memperpanjang surat izin mengemudi (SIM) dan paspor kurang tepat.

Wakil Ketua YLKI Sudaryatmo mengatakan, rencana sanksi penunggak iuran BPJS Kesehatan tersebut tidak akan efektif membuat efek jera, sebab tidak semua orang memiliki SIM dan paspor.

"Kan perpanjang paspor dan SIM itu juga setiap 5 tahun sekali," kata Sudaryatmo, saat berbincang dengan Liputan6.com.

Menurut Sudaryatmo, jika sanksi tersebut diterapkan akan menimbulkan persoalan baru. Masyarakat akan sulit mendapat layanan dan mengurangi pendapatan negara. "Itu menimbulkan persoalan baru ketika orang bayar pajak tidak bisa dapat layanan," ujar dia.

Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah menyatakan, jika wacana tersebut benar terlaksana, maka artinya negara telah menindas rakyat.

"Kalau benar wacana ini muncul dan direalisasikan oleh pemerintah, artinya pemerintah memaksa rakyat dan memberikan sanksi jika tidak melakukan," ungkapnya saat dihubungi Liputan6.com.

Ilham kemudian mempertanyakan substansi dari BPJS Kesehatan sendiri. Negara harusnya memberikan fasilitas penunjang kesehatan secara gratis kepada masyarakat, bukan malah mengambil dari rakyat. Apalagi sampai menggunakan alat negara untuk melakukan tindakan represif.

"Jadi ini konsepnya seperti apa? Pajak kesehatan atau jaminan kesehatan? Kesehatan itu harusnya gratis, negara berkontribusi sebaik-baiknya pada rakyat karena rakyat juga sudah taat bayar pajak. Bukannya malah membuat kesehatan menjadi industri," ungkapnya.

 

4 dari 4 halaman

Tugas Pemerintah

Rizal Ramli meminta sebaiknya solusi atas defisit keuangan di BPJS Kesehatan, tidak membebani masyarakat yang masuk kategori golongan miskin dan masyarakat golongan yang nyaris miskin.

Sebab, bagi rakyat pada kedua golongan itu, fokus utama mereka adalah mencari makan untuk hidup sehari-hari. "Dan hasil kerja mereka juga mungkin hanya cukup untuk makan sehari-sehari itu," kata Rizal.

Dia mengusulkan agar pemerintah melindungi masyarakat dari kedua golongan itu, karena masuk kategori yang paling rentan secara ekonomi.

Dalam hal BPJS Kesehatan untuk para pekerja, lanjutnya, beban untuk komposisi iuran perusahaan dinaikkan untuk menolong karyawan yang gajinya pas-pasan.

"Beban iuran dari perusahaan dinaikkan, apalagi kalau perusahaannya untung. Sehingga beban persentase untuk karyawan tidak begitu besar memotong gajinya yang sudah pas-pasan."

Karena kesehatan itu adalah hal yang paling penting dan juga menjadi tugas negara mengurusnya, dia mengusulkan agar pajak di sektor kesehatan juga ditekan menjadi lebih rendah.

"Pajak impor peralatan kesehatan, pajak impor obat, pajak pabrik obat, dan lain-lain di sektor ini harus lebih rendah agar mereka yang punya rumah sakit, tidak menarik biaya yang tinggi kepada pasien." kata dia.

Guru besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Profesor Budi Hidayat, mengakui jika JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan sosial yang sifatnya wajib. Dengan prinsip yang dijalankan adalah gotong royong.

Sanksi juga menjadi salah satu bagian dari kewajiban tersebut. Namun saat ini pemerintah belum memiliki regulasi yang kuat untuk menerapkan kebijakan mengenai sanksi tersebut.

"Saat ini memang wajib untuk semua penduduk. Masalahnya kita belum punya instrumen untuk mendaratkan kebijakan tersebut, karena ada kelompok dan sektor tertentu yang tidak bisa dibidik. Sektor informalnya tidak teroganisir," jelas dia, mengutip Antara.

Lebih lanjut, dia menilai pemerintah memiliki pekerjaan besar untuk mengubah pola pikir penduduk Indonesia agar mau membayar iuran.

Tantangan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke depan adalah menjadikan produk jaminan kesehatan yang wajib namun dicari banyak orang karena memberikan benefit yang luar biasa.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.