Sukses

Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Rokok 23 Persen di 2020

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen. Hal ini pun telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Kita semua akhirnya memutuskan untuk kenaikan Cukai rokok ditetapkan sebesar 23 persen dan kenaikan harga jual eceran nya menjadi 35 persen," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresiden Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Menurut dia, kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran ini akan mulai berlaku per 1 Januari 2020. Hal ini akan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

 

"Dengan demikian kita akan memulai persiapannya sehingga nanti pemesanan cukai baru bisa dilakukan dalam masa transisi," ucapnya.

Sri mengatakan, keputusan kenaikan cukai dan harga rokok ini diambil setelah berbagai pertimbangan. Kenaikan ini salah satunya bertujuan untuk mengurangi konsumsi terhadap rokok.

"Jadi di dalam penetapan mengenai cukai rokok ini kita memperhatikan tiga hal tersebut. Yakni bagaimana kebijakan cukai rokok bisa mengurangi konsumsi rokok. Bagaimana dia bisa mengatur industrinya dan yang ketiga tetap menjaga penerimaan negara," jelasnya.

Dia menjelaskan berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, terjadi tren peningkatakan konsumsi rokok. Perokok usia 18 tahun meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Sementara, jumlah perokok perempuan, naik dari 2,5 persen menjadi 4,8 persen.

"Oleh karena itu, kita perlu perhatikan bagaimana menggunakan cukai ini dalam rangka untuk mengurangi tren kenaikan rokok tersebut," tutur dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengusaha Usul Kenaikan Cukai Rokok Berdasarkan Inflasi

Pengusaha rokok meminta pemerintah untuk tidak menerapkan kebijakan penggabungan akumulasi batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Penggabungan ini dinilai akan memberatkan industri hasil tembakau (IHT) terutama industri golongan kecil dan menengah.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar meminta pemerintah tidak menerapkan simplifikasi. Menurut Sulami, struktur tarif cukai rokok saat ini yang terdiri dari 10 golongan sudah mencerminkan kondisi IHT yang terdiri dari 437 pelaku industri dengan rentang variasi produksi sangat luas. 

“Simplifikasi struktur tarif cukai akan menyebabkan terpukulnya pabrik golongan kecil, yang ujung-ujungnya hilangnya lapangan pekerjaan,” kata Sulami di Jakarta, Jumat (16/8/2019).  

Sulami menyatakan, dampak penggabungan SKM dan SPM akan menciptakan persaingan tidak sehat. Karena menyebabkan pengusaha pabrik golongan menengah dan kecil terdampak, yakni mengalami lonjakan tarif cukai rokok dan Harga Jual Eceran (HJE) akibat naiknya golongan. 

“Dalam konteks persaingan usaha, hal ini akan melemahkan pengusaha golongan menengah kecil, serta menguntungkan pengusaha pabrik dominan di segmen SKM maupun SPM,” tegasnya. 

Sulami pun meminta pemerintah memperhatikan kondisi IHT saat ini yang sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis di mana terjadi penurunan 1-2 persen selama 4 tahun terakhir. Merujuk hasil riset Nielsen, pada bulan April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 persen.

3 dari 3 halaman

Masukan dari Pelaku Usaha

Agar kebijakan cukai pada 2020 mencerminkan asas keadilan, GAPERO Surabaya memberikan beberapa masukan penting pada pemerintah. Pertama, perlunya perlindungan dalam bentuk insentif tambahan bagi golongan sigaret kretek tangan (SKT) yang merupakan segmen padat karya. 

“SKT adalah segmen IHT yang menyerap tenaga kerja terbanyak,” ujarnya.  

Kedua, sambung Sulami, dalam rangka memperlambat tren penurunan yang terus dialami IHT, hendaknya pemerintah memberikan preferensi tambahan untuk segmen SKT, antara lain perluasan batas jumlah produksi khususnya golongan II dan III; preferensi tarif cukai dan HJE semua golongan, yakni golongan I, II dan III.

“Ketiga, kenaikan tarif dan HJE berdasarkan pada inflasi,” tegasnya. 

Keempat, pengendalian harga transaksi pasar (HTP)  dengan pembatasan minimum 85 persen dari HJE hendaknya tetap dipertahankan.  

“Salah satu dampak simplifikasi adalah maraknya rokok ilegal. Karena itu, GAPERO Surabaya mendukung pemerintah untuk peningkatan pemberantasan rokok ilegal. Pasalnya, rokok ilegal akan merugikan penerimaan negara,” terangnya. 

Untuk diketahui, penggabungan batas produksi SKM dan SPM melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017 sebelumnya telah dibatalkan pemberlakuannya melalui PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.