Sukses

Obama Dikritik karena Beli Rumah Mewah Rp 213 Miliar

Mantan Presiden AS Barack Obama disebut munafik akibat rumah mewah.

Liputan6.com, Boston - Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dikritik karena dalam proses membeli rumah mewah di Martha Vineyard's, sebuah lokasi kelas atas di negara bagian Massachusetts. Konsistensi Obama pun dipertanyakan karena saat menjadi presiden ia bersikap oposisi ke kalangan orang kaya di AS.

Dilaporkan Market Watch, rumah yang dibeli Obama berada di tepi pantai dan bernilai USD 15 juta atau Rp 213 miliar (USD 1 = Rp 14.269). Pakar bisnis kecil Carol Ruth menilai kemewahan itu sebagai bentuk kemunafikan dari sang mantan presiden.

"Sebagai seorang kapitalis, saya mendukung masyarakat menghasilkan uang sebanyak yang mereka inginkan dan menghabiskannya sesuka mereka. Namun, tempat tinggal mewah itu merupakan pernyataan munafik dari sang mantan presiden yang menghabiskan waktunya sebagai presiden yang memojokkan kesuksesan orang lain," ucap Ruth yang juga kontributor Fox.

Barack Obama berasal dari Partai Demokrat yang narasi politiknya berseberangan dengan para kapitalis. Politisi Demokrat pun sering menyerukan regulasi bisnis dan menuntut para orang kaya di AS membayar pajak lebih besar.

Beberapa kandidat calon presiden Partai Demorkat yang ingin maju pada pemilu AS 2020 turut menyuarakan hal serupa. Senator Bernie Sanders dan Senator Elizabeth Warren menjadi yang terdepan menuntut miliarder membayar pajak lebih banyak.

Menurut TMZ, rumah Barack Obama di Martha's Vineyard memiliki luas sembilan eker punya delapan kamar tidur, dan berlokasi di daerah hijau. Sumber dana itu dilaporkan dari hasil kontrak buku memoir Barack dan Michelle Obama.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menkeu AS: Tak Ada Tanda-Tanda Resesi

Kabar pembelian rumah mewah Barack Obama terkuak di tengah kabar mengenai resesi ekonomi di negaranya.  Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Steven Mnuchin optimistis tidak ada resesi di depan mata. Munculnya "pertanda" resesi pada akhir pekan lalu juga dinilai tidak cukup oleh Mnuchin.

"Kami tidak melihat resesi di cakrawala," ucap Mnuchin seperti dikutip Fox Business, Selasa, 27 Agustus 2019. 

"Gejala" yang muncul pekan lalu adalah inverted yield curve pada surat berharga AS. Imbal hasil surat dengan tenor 2 tahun pun sempat lebih tinggi ketimbang yang 10 tahun.

Fenomena itu dinilai awal mula terjadinya resesi. Namun, CNBC mencatat inverted yield curve yang terjadi pekan lalu hanya berlangsung sejenak, sementara untuk menjadi gejala resesi seharusnya fenomena itu bertahan lebih lama.

"Saya tidak berpikir yield curve itu mencerminkan resesi. Saya pikir yield curve mencerminkan fakta bahwa itu mengantisipasi Fed yang akan menurunkan rates jangka-pendek," tambah Mnuchin.

Mnuchin yang berbicara dari G7 Prancis turut mengungkit progres perang dagang yang terjadi. Ia yakin China akan membayar dampak tarif yang diterapkan AS.

Ekonomi AS pun dipandang sebagai titik cerah di dunia. Mnuchin memprediksi negara Eropa tertarik mengikuti langkah ekonomi AS.

"Orang-orang membicarakan melakukan pemotongan pajak dan memangkas regulasi di Eropa, jadi orang-orang memandang tinggi kebijakan ekonomi Trump dan ingin meniru mereka karena itulah alasan kita memiliki pertumbuhan ini," ujar Mnuchin.

Pertumbuhan ekonomi di era Presiden Donald Trump memang tercatat cemerlang dan membantah prediksi ekonom pemenang Nobel, Paul Krugman, bahwa kemenangan Trump akan membawa resesi. Tingkat pengangguran tercatat terendah dalam 50 tahun di pemerintahan Trump.

3 dari 3 halaman

Ekonom Nobel Juga Tak Yakin Ada Resesi

Hingar bingar resesi ekonomi kembali terdengar di AS karena muncul sebuah "pertanda" pada kurva yield obligasi AS (US Treasury). Pasalnya, imbal hasil tenor dua tahun justru lebih tinggi ketimbang yang tenor 10 tahun. Fenomena yang disebut inverted yield curve itu santer dipandang sebagai pertanda resesi.

Namun, ekonom pemenang Nobel Robert Shiller tak yakin kecemasan resesi akan terjadi, meski pernah ada tujuh kali resesi sesudah terjadinya pertanda ini.

"Hal tersebut memang dikenal sebagai indikator terdepan (terjadinya resesi). Tetapi saya tidak seyakin yang lainnya mengenai hal itu," ujar Shiller seperti dikutip CNBC.

Shiller yang juga mengajar makroekonomi dan ekonomi perilaku di Universitas Yale mengingatkan bahwa ketakutan soal resesi malah bisa menjadi bumerang. 

Ia menjelaskan kecemasan bisa menjadi pemicu resesi karena membuat performa pasar merosot. Kecemasan mengenai resesi itu malah menjadi ramalan yang diwujudkan sendiri (self-fulfilling prophecy).

"Saya mendengar banyak yang membicarakan koreksi pasar, mungkin justru itu yang membuatnya (resesi) terjadi," ucap Shiller.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.