Sukses

PLN Targetkan Nihil Kecelakaan Kerja di 2023

Untuk mencapai target Zero Accident di 2023, PLN membentuk Peta Jalan (Road Map) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) terus menekan tingkat kecelakaan kerja di internal perusahaan. Bahkan pada 2023 PLN menargetkan tidak ada lagi kecelakaan kerja (Zero Accident) yang menimpa para pekerjanya.

EVP Keselamatan, Kesehatan Kerja, Keamanan dan Lingkungan PLN, Antonius RT Artono mengatakan PLN telah membentuk Peta Jalan (Road Map) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan target Zero Accident di 2023. Salah satu langkah dalam Road Map 2023 adalahmembentuk organisasi K3 di unit-unit induk PLN pada tahun 2013.

 

Adapun penyempurnaannya dilakukan pada tahun 2017 dengan pembentukan Manajer Pejabat K3, Pemangku Kepentingan K3 atau Pelaksana K3.

“Sebenarnya pada aspek keselamatan kerja itu hanya memerlukan pengawasan. Nah pengawasan yang paling murah dan paling efisien itusebenarnya kepada diri setiap karyawan masing-masing. Sehingga tugas keselamatan kerja itu seharusnya bukan hanya tugasnya orang K3 semata, melainkan seluruh karyawan,” ungkap Anton di Jakarta, Senin (22/7/2019).

Demi memperkuat pengawasan K3, lanjut dia, maka dibentuk Budaya K3 di tubuh PLN. Anton menjelaskan, terdapat keterkaitan antara budaya perusahaan dengan budaya K3. Budaya korporat sendiri merupakan elemen strategik, yang bersifat besar dan menyeluruh. Sementara budaya K3 adalah subkultur dari budaya korporat yang spesifik mencakup urusan keselamatankerja.

“Karena itu kami membangun budaya K3 di PLN dengan tiga values, yakni Peduli, Taat, Tanggap. Untuk melaksanakannya, saya mengumpulkan seluruh stakeholders K3 dari seluruh Indonesia di kantor pusat PLN ini,”jelasnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indikator Keberhasilan Budaya K3

Adapun indikator keberhasilan dari budaya K3 itu terdiri atas lagging indicator dari empat aspek, yakni Loss of Life, Loss of Production, Loss of Productivity, dan Loss of Asset.

“Sebagai contoh Loss of Life. Jika adakaryawan yang meninggal, maka sebetulnya perusahaan kehilangan produktivitas, sehingga bisa dihitung berapa turunnya produktivitas akibat peristiwa tersebut. Kemudian Loss of Production, bisa saja kecelakaan kerja mengakibatkan produksinya berhenti atau bahkan asetnya rusak. Tahun ini lagging indicator keempat aspek ini mulai kita ukur di PLN,” papar Anton.

Keempat indikator itu lantas dibuat indikator kinerja utama atau key performance indicators (KPI). Dengan demikian pengelolaan K3 di PLN terusdilakukan dengan cara bersinergi antar unit, mengukur pencapaian KPI lagging indicators, dan memperkuat budaya K3 di lingkungan PLN dan juga kontraktornya.

Tak ketinggalan PLN terus membangun kesadaran untuk saling mengingatkan dan fokus pencegahan terhadap K3 dalam menemukan dan menyelesaikan perihal unsafe condition dan unsafe action.

“Terus kita bikin juga Lesson Learned. Jadisetiap ada insiden baik yang near miss atau berdampak, kita share ke teman-teman melalui group chatting di perpesanan instan. Tujuannya supaya insiden di tempat yang satu, tidak terjadi di tempat yang lain,” ungkap Anton.

3 dari 3 halaman

PLN Pilih Bayar Denda Ketimbang Beli Listrik dengan Harga Mahal

PT PLN (Persero) lebih memilih ‎membayar denda dibanding mengoperasikan pembangkit listrik yang harga jual listriknya tinggi. Hal ini dinilai jauh lebih efisien.

Pelaksana tugas Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, PLN akan membayar denda take or pay karena tidak menyerap listrik dari pembangkit yang dinonaktifkan. Perusahaan tersebut mengevaluasi pengoperasian pembangkit, untuk menyeimbangkan pasokan listrik dengan pertumbuhan konsumsi listrik.

"Kita lebih baik take or pay-lah, yang mati-mati itu tetap Kita bayar," ‎kata Djoko, di Jakarta, Jumat (19/7/2019).

Menurut Djoko, meski PLN tetap merugi karena mengeluarkan uang untuk membayar denda take or pay‎, tetapi keputusan tersebut lebih baik ketimbang tetap membeli listrik dari pembangkit. Sebab denda take or pay lebih murah dibanding membeli listrik dari pembangkit.

"Lebih murah bayar itu. Ya rugi, tapi dari pada lebih mahal,"‎ ujarnya.

Evaluasi pengoperasian pembangkit listrik dilaterbelakangi realisasi pertumbuhan konsumsi listrik sampai semester I 2019 sebesar 4,31 persen, tidak sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Hal ini disebabkan penurunan produksi sektor industri, sebagai konsumen listrik skala besar.

   

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.