Sukses

Beli Kopi di Kafe Ini Bisa Bayar Pakai Sampah Plastik

Sebuah kafe menerima bayaran dengan sampah plastik.

Liputan6.com, Kampong Speu - - Sebuah inisiatif unik muncul di Kamboja dalam rangka melawan sampah plastik dan meningkatkan kesadaran mengenai bahayanya. Seorang pemilik kafe di Kamboja pun bersedia menerima bayaran dengan sampah.

Dilansir World Economic Forum, Ouk Vanday (32) menjual secangkir kopi seharga 6.000 riel (sekitar Rp 20 ribu) atau pembeli bisa bayar dengan 100 sampai gelas plastik. Kafe ini berlokasi di Taman Nasional Kirirom di provinsi Kampong Speu.

Uang hasil sampah plastik itu mengalir ke konstruksi kafe serta bermacam proyek lainnnya. Vanday pun berharap kafe lain bisa terinspirasi dalam melindungi lingkungan.

"Ini mengirimkan pesan kepada pemilik toko lain agar berpikir di luar sekadar mencari untung, tetapi melihat dampak besar yang disebabkan oleh sampah ke masyarakat dan dunia" ujar pria yang dulunya bekerja sebagai manajer hotel.

Kafe Sampah di Kamboja. Dok: Reuters

Tak hanya bayarannya yang ramah lingkungan, kafe kopi miliknya juga dibangun dengan sampah plastik seperti botol bir dan air kemasan. Tulisan nama kafenya juga memakai daun-daunan.

Vanday berharap para pebisnis lain juga ingat dampak dari bisnis mereka ke alam serta para generasi muda.

Masalah sampah plastik sedang disorot di dunia karena dampak buruknya bagi lingkungan. Sekitar delapan juta ton plastik mengotori lautan tiap tahunnya, beberapa negara Asia seperti Indonesia termasuk pihak yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

RI Kirim Balik Puluhan Kontainer Sampah ke Negara Asal

Sebelumnya dikabarkan Indonesia akan mengembalikan puluhan kontainer berisi sampah yang masuk ke Indonesia. Pengembalian tersebut lantaran sampah plastik mengandung limbah B3 berbahaya.

Kasubdit Humas Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro mengatakan, Ditjen Bea Cukai bersama pihak terkait telah melakukan tindakan tegas soal masuknya sampah dan limbah ke Indonesia.

"Yang kemarin ditindak tegas adalah yang tercampur dengan sampah dan limbah B3," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019.

Masalah impor sampah dan limbah ini muncul setelah China mulai mengurangi impor sampah sejak 2017. Akibatnya negara yang biasanya mengimpor sampah ke Negeri T‏irai Bambu tersebut mencari pasar baru, termasuk ke Indonesia.

"Kebijakan China ini membuat kami memperketat proses pemantauan. Akhirnya kami berhasil mengidentifikasi kontainer-kontainer berisi sampah yang terkontaminasi," kata dia.

Dari hasil penelusuran Ditjen Bea Cukai bersama pihak terkait, lanjut Deni, ditemukan puluhan kontainer berisi sampah dan limbah yang terkontaminasi.

"Di Tanjung Perak yang sudah kita lakukan reekspor itu 5 kontainer di pertengahan Juni. Yang di Batam ada 65 kontainer yang telah kita lakukan pemeriksaan bersama dengan kemeneterian terkait, dalam hal ini KLHK. Itu dari 65 kontainer, kedapatan 49 yang tercampur sampah atau limbah B3. Ini akan kita lakukan proses reekspor, dikembalikan ke negara asal," jelas dia.

Menurut Deni, proses pengembalian kontainer ke negara asalnya tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Pedagangan (Permendag), di mana yang menanggung seluruh biaya untuk pengembalian tersebut adalah pihak importir.

"Yang di Batam asalnya macam-macam karena banyak. Jadi ada dari Prancis, Hong Kong, AS, Australia, Jepang, Jerman. Di Permendag nomor 31 Tahun 2013 ada ketentuan mengenai itu (reekspor). Itu harus di reekspor kalau tidak sesuai dengan ketentuan atas tanggungan dari importir," tandas dia.

3 dari 3 halaman

Pelaku Industri Tolak Larangan Plastik Kemasan

Para pelaku industri produsen dan pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) menolak peraturan pemerintah, baik pusat maupun daerah terkait pelarangan penggunaan plastik kemasan.

Para pelaku industri tersebut menilai hal itu tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan Persampahan, selain juga tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen). Tidak hanya itu, pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat mengatakan plastik kemasan produk industri seperti makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya.

“Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut,” katanya dalam acara Focus Gorup Discussion (FGD) bertema Pengembangan Industri Plastik Dengan Berorientasi Pada Lingkungan di Ruang Rajawali Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019. 

Padahal, menurut Rachmat, produk-produk tersebut sudah dikendalikan dan diawasi oleh kementerian/lembaga yang terkait sesuai dengan sektornya masing-masing. Contohnya produk makanan dan minuman serta farmasi berada dibawah pengawasan BPOM dan Kementerian Kesehatan. Sedangkan produk pestisida berada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ITB, dan Solid Waste Indonesia (SWI) terhadap laju daur ulang sampah plastik, Indonesia sudah melakukan 62 persen daur ulang botol plastik. Angka tersebut bahkan terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara besar seperti Amerika yang hanya 29 persen, dan rata-rata Eropa 48 persen.

Jika pelarangan terhadap plastik kemasan ini terus berlanjut, hal itu akan sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Karena, mau tidak mau, itu akan sangat berdampak terhadap industri yang banyak menggunakan wadah dari plastik.

Salah satunya adalah industri makanan dan minuman (mamin) yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDB Non Migas Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilainya mencapai 19,86 persen atau Rp 1.875.772 miliar pada 2018 dan tumbuh sebesar 7,91 persen pada akhir 2018.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.