Sukses

Kepala BNN Dapat Gaji dan Fasilitas Setingkat Menteri

Ini tertuang dalam Perpres Nomor 47 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN). Melalui Perpres ini, Kepala BNN mendapatkan gaji dan fasilitas setingkat menteri. 

"Dengan pertimbangan dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi BNN guna optimalisasi pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, pemerintah memandang perlu penyetaraan hak keuangan dan fasilitas," seperti kutip dari laman Setkab, Rabu (17/7/2019).

Perpres ini merubah beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 23 Tahun 2010, diantaranya Pasal 60 menjadi Kepala BNN merupakan Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dari sebelumnya jabatan struktural eselon I.a.

Kemudian, Sekretaris Utama, Deputi, dan Ispektur Utama merupakan jabatan struktural eselon I.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dari sebelumnya jabatan struktural eselon I.a, Direktur, Inspektur, Kepala Pusat, Kepala Biro, dan Kepala BNNP merupakan jabatan struktural eselon II.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dari sebelumnya jabatan struktural eselon II.a.

Selanjutnya, Kepala Bagian, Kepala Subdirektorat, Kepala Bidang, dan Kepala BNNK/Kota merupakan jabatan struktural eslon III.a atau Jabatan Administrator dari sebelumnya jabatan struktural eselon III.a, Kepala Subbagian, Kepala Subseksi, dan Kepala Subbidang merupakan jabatan struktural eselon IV.a atau Jabatan Pengawas dari sebelumnya jabatan struktural eselon IV.a.

"Kepala BNN sebagaimana dimaksud diberikan hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri,” bunyi Pasal 62A Perpres ini.

 Perpres Nomor 47 Tahun 2019 ini ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 4 Juli 2019 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada 8 Juli 2019 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rawan Narkoba, BNN Tolak Rokok Elektrik Dilegalkan

Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN) Mufti Djusnir mengatakan, rokok elektronik sangat berpeluang disalahgunakan untuk narkoba atau obat-obatan berbahaya. Itu sebabnya, BNN menolak peredaran rokok elektronik.

Mufti mengataan BNN sudah menemukan beberapa narkoba yang menggunakan rokok elektronik sejak 2013, antara lain sabu-sabu dan ganja. Menurutnya, rokok elektronik sangat mungkin menjadi kamuflase bagi para penyalahguna dalam menggunakan narkoba.

"Beberapa jenis narkoba yang disalahgunakan dengan cara dihisap, bisa jadi menggunakan rokok elektronik," tuturnya di Jakarta, Selasa 26 Juni 2019.

Meskipun temuan rokok elektronik yang digunakan dalam penyalahgunaan narkoba belum banyak, Mufti mengatakan hal itu tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang biasa.

"Dalam ilmu kriminal itu, penangkapan satu kasus berarti masih ada sembilan lainnya yang belum tertangkap," katanya seperti dikutip dari Antara.

Karena itu, Mufti mengatakan BNN secara tegas menolak rokok elektronik dilegalkan. Dia mencontohkan ganja yang masih menjadi barang ilegal di Indonesia, tetapi banyak penyalahgunaan.

"Diatur saja ada penyalahgunaan, apalagi dibebaskan," ujarnya.  

3 dari 3 halaman

Kepala BNN: 90 Persen Operator Narkotika Ada di Lapas

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Heru Winarko menilai, Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjen Pas) lemah mengawasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Pasalnya, hingga detik ini, mayoritas operator narkotika berasal dari jaringan Lapas.

Menurut Heru, Lapas masih menjadi tempat yang "nyaman" bagi semua operator narkotika. Karena itu, ia menilai butuh perbaikan sistem untuk mengatasi masalah tersebut.

"Lapas kita memang memprihatinkan. Saya bisa nyatakan lebih 90 persen operator narkotika berasal dari Lapas," ujar Heru dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (15/5/2019).

Menurut Heru, kurangnya pengawasan membuat hampir tidak ada Lapas yang bersih dari jaringan narkoba. Selama ada napi yang merupakan bandar atau pengedar, rata-rata masih mengoperasikan bisnisnya meski berada di sel.

"Semua lapas yang ada napi narkobanya terutama bandar, masih beroperasi. Termasuk ya yang kemarin pengungkapan 200 kilogram sabu yang dikendalikan dari Lapas Cirebon," tuturnya.

Heru mengatakan, selama ini pihaknya sudah berkoordinasi dengan Ditjen Pas untuk memberantas jaringan narkotika di Lapas. Namun kerja sama itu tampaknya tak dibarengi dengan tindakan nyata.

"Ini juga menjadi atensi kita dengan Dirjen Pas. Karena kita butuh kerja sama semua pihak untuk menerapkan sistem yang bersih dari narkotika sangat dibutuhkan," ujar mantan Deputi Penindakan KPK itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.