Sukses

Pertama di ASEAN, RI Terapkan Pendataan Perikanan Elektronik

KKP menyatakan penghapusan praktik IUUF dalam negeri dapat diwujudkan dengan tata kelola perikanan tangkap melalui aplikasi online.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya memerangi praktik kegiatan perikanan ilegal dan tidak terdata atau illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di Indonesia.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar menuturkan, penghapusan praktik IUUF dalam negeri salah satunya dapat diwujudkan dengan tata kelola perikanan tangkap melalui aplikasi online.

Oleh sebab itu, KKP menciptakan e-logbook, yakni aplikasi pendataan pencatatan ikan oleh nelayan domestik. Dari sini, KKP menargetkan kenaikan perolehan penerimaan perpajakan perikanan ke negara dengan data yang diklaim lebih transparan.

 

"Per kemarin sudah 5 ribu yang gunakan aplikasi ini. Jadi mereka (nelayan) tinggal cocokan hasil penangkapanya. Jadi kalau ada salah catat segala macam sistem kita langsung menyesuaikan, ini informasinya salah jadi otomatis surat langsung dikirmkan ke dia untuk verifikasi data sehingga perbaikan ini akan membuat pencatatan ikan akan semakin membaik," tuturnya kepada Liputan6.com, Kamis (11/7/2019).

Zulfikar menjelaskan, penerapan pendataan ikan secara online ini merupakan yang pertama di ASEAN. Karenanya, pihaknya optimistis dapat meningkatkan potensi perikanan Indonesia agar semakin membaik kedepannya.

"Makanya kita dorong e-logbook. Kita akan terapkan elektronik sistem ini. Kita pertama di ASEAN. Dengan ini, pendataan perikanan Indonesia akan lebih rapih," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Menteri Susi: 20 Pengusaha Kuasai 4 Ribu Kapal di RI

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti mengatakan, Indonesia kini semakin menancapkan prestasinya di sektor kelautan di mata internasional.

Pengakuan itu diperoleh atas konsistensi RI dalam memerangi kegiatan perikanan ilegal atau yang lebih dikenal dengan Illegal, Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing.

Namun, masalah IUU Fishing kata Susi masih jadi PR besar Indonesia yang harus dibenahi meski kesejahteraan nelayan tercatat naik sejak 2014 silam.

"Jadi ekonomi (kelautan) kita yang sesungguhnya itu belum kelihatan karena IUUF kita yang masih tinggi," tuturnya kepada Liputan6.com, Selasa (9/7/2019).

Susi Pudjiastuti menjelaskan, nelayan kerapkali dimanfaatkan sejumlah pengusaha nakal dengan mengecilkan laporan perolehan perikanan, termasuk ukuran kapal yang digunakan.

"Kita mau pengusaha jujur, kapalnya ukuranya benar, laporan tangkapanya benar. Faktanya 4 ribuan kapal itu grupnya dimiliki 8-20 orang saja. Itu-itu saja orangnya, kita tahu. Oligarki ini," terang dia.

Sebab itu, potensi penerimaan pajak dari sektor kelautan RI menjadi tidak optimal. Padahal, menurut Susi Pudjiastuti perolehan pendapatan pengusaha itu bisa mencapai triliunan dari industri perikanan saja.

"Kita jadi ditegur PDB perikanan tertinggi, tapi pajaknya tidak seimbang. Mereka (pengusaha) ini dikertasnya pakai nama cicit, om, tante, opa, oma, izinya pakai calo. Yang akal-akalan ini mau kita betulkan," tegasnya.

3 dari 4 halaman

Menteri Susi Ungkap Modus Pengusaha Hindari Pajak Perikanan

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menjelaskan, banyak modus yang dilakukan pengusaha untuk menghindari pajak perikanan dari hasil tangkapan laut di dalam negeri.

Dia menyatakan, salah satu yang kerap kali dilakukan para pengusaha tangkap perikanan ialah dengan mengurangi volume ikan yang mereka tangkap.

"Yang dilakukan pengusaha dalam negeri sama modusnya dengan asing. Jadi waktu kapal asing sudah kita tertibkan, tangkapan KKP itu di atas 30 GT tidak lebih dari 1.300 ton, sedikit sekali kan aneh. Ternyata pas kita investigasi mereka ini marked down ukuran-ukuran kapal yang 100 gt tulisanya cuman 30 GT," tuturnya kepada Liputan6.com, Senin (8/7/2019).

Susi Pudjiastuti melanjutkan, modus ini dilakukan pengusaha dengan tujuan menghindari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Kedua mereka ini ingin dapat solar subsidi. Nah begitu saya jadi Menteri subsidi solar untuk kapal 30 GT saya stop. Karena kapal di atas 30 GT mereka bukan UMKM dan bukan nelayan, tapi pengusaha," terangnya.

Selain itu, Susi mengungkapkan kekesalanya bagi para pengusaha yang tidak melaporkan perizinan kapal yang menyebabkan aksi ilegal fishing masih bertumbuh di dalam negeri.

"Saya baru-baru ini hadir di FGD dengan Sri Mulyani, ada seribu orang disana. Ada satu orang nanya kenapa izin ini-itu dipersulit. Saya jawab, bapak kapalnya berapa, perusahaanya apa? Dia jawab mungkin 2 kapal. Saya mangkel setengah mati, mana mungkin kapal 20mx50m dia nggak apal? Kalau ada sendal itu saya lempar kesana. Kan kita juga punya laporanya," ujar Susi Pudjiastuti.

4 dari 4 halaman

Kesejahteraan Nelayan Terus Meningkat Sejak 2014

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyelenggarakan acara Halal Bihalal di Kantornya. Dalam acara tersebut, dia memaparkan sejumlah capaian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Salah satunya terkait kenaikan Nilai tukar nelayan(NTN) yang merupakan indikator kesejahteraan nelayan.

Menurut dia, Nilai tukar nelayan Bulan Mei 2019 sebesar 113,08. Angka ini naik sebesar 0,64 persen jika dibandingkan bulan yang sama tahun 2018, yaitu dari 112,36.

"Nilai tukar nelayan, nilai tukar Usaha perikanan, nilai tukar pembudidaya harus naik terus. Tidak boleh turun," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Dia mengatakan, sejak 2014, Nilai tukar nelayan terus mengalami kenaikan signifikan. Hal tersebut, lanjut dia, didukung oleh berbagai program kedaulatan kemaritiman yang sudah dijalankan.

"Saya lihat hari ini luar biasa. Ternyata terus membukukan kenaikan. Tahun 2014 itu di bawah 106. Begitu kita canangkan program kedaulatan kemaritiman, signifikan naik, 106, 108. Tahun 2017, 111, 2018, 113, Mei 2019 113,08," ujarnya.

Dia mengakui bahwa angka nilai tukar nelayan bulan Mei belum begitu memuaskan. Namun hal tersebut disebabkan karena karakteristik usaha penangkapan ikan yang biasanya tidak terlalu baik di awal tahun.

"Awal tahun agak sedikit karena biasanya musim hujan masih berlangsung ikan belum ada. Musim kemarau ikan baru ada. Sementara udang dan lobster musim hujan. Tapi dilihat dari tahun 2014 jauh angkanya. Dan pertumbuhan dalam situasi ekonomi dunia yang slow down," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.