Sukses

Jokowi Segera Umumkan Lokasi Ibu Kota Baru

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, masih ada dua daerah di Kalimantan yang cocok untuk dijadikan ibu kota baru.

Liputan6.com, Jakarta - Upaya pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara nampaknya tidak main-main. Sejauh ini, pemilihan daerah Kalimantan masih dianggap paling berpotensi untuk menjadi pusat pemerintahan baru.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro mengatakan, masih ada dua daerah di Kalimantan yang cocok untuk dijadikan ibu kota baru. Namun untuk kepastian lokasinya akan segera diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Sudah (ada lokasinya) mudah-mudahan dalam waktu dekat atau tidak terlalu lama Presiden Jokowi umumkan lokasi,” ujarnya Menteri Bambang dalam acara Forum Merdeka Barat di Kementerian Bappenas, Jakarta, Rabu (10/8).

 

Menurut Menteri Bambang alasan memilih Kalimantan sebagai ibu kota baru karena letaknya berada di tengah-tengah. Artinya ibu kota ini dekat dengan wilayah barat dan juga tidak terlalu jauh dari wilayah timur Indonesia.

“Kita ingin ibu kota baru itu Indonesia sentris, karena di desain dan dipilih bangsa sendiri,” ucapnya.

Tak hanya itu, dipilihnya Kalimantan juga karena pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut sedang dihadapkan masalah.

“Kalimantan ini ekonominya sekarang tertekan sekali karena mereka mengandalkan komoditas seperti batu bara,” ucapnya

Lebih lanjut dia menambahkan, ibu kota baru ini nantinya akan ramah lingkungan. Mengingat Kalimantan sendiri menjadi paru-paru dunia, oleh karenannya sebisa mungkin harus dijaga agar tidak terjadi kerusakan hutan.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pemindahan Ibu Kota Tak Ganggu Ekonomi Jakarta

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemindahan ibu kota ke luar Jawa tidak akan membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta terganggu. Sebab, yang akan pindah nantinya hanya pusat pemerintahan.

"Saya katakan Jakarta tidak akan terganggu sama sekali dengan pemindahan ini. Kenapa? Begini, kalau lihat komposisi PDRB Jakarta, berapa sih kontribusi dari pemerintahan? Tidak banyak, hanya sekitar 20 persen paling tinggi. Sekitar 80 persen dari swasta," ujarnya di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (13/5/2019).

Bambang mengatakan, nantinya yang pindah ke luar Jakarta adalah pemerintah pusat sementara pemerintahan provinsi DKI Jakarta tidak berubah. Untuk itu, pemerintah DKI Jakarta tetap memberi dukungan pertumbuhan ekonomi terhadap daerahnya begitupun sektor swasta yang menetap di Jakarta. 

"Pemerintahan di Jakarta tetap di Jakarta, itu hanya pemerintahan pusat yang pindah dari Jakarta. Jadi intinya, pertumbuhan ekonomi Jakarta akan tetap digerakkan oleh sektor swasta dan penduduk yang pindah katakan hanya 1 juta dari 10,3 juta," jelasnya.

Selain pemerintah provinsi dan swasta, jumlah penduduk Jakarta saat ini diprediksi tetap akan memberikan sumbangsih pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ke depan.

"Dengan Jabodetabek itu hampir 25 juta orang, itu yang akan membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta tetap tinggi," tandasnya.

3 dari 4 halaman

Jumlah Penduduk Ibu Kota Baru akan Dibatasi

Pemerintah Jokowi-JK berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Jawa. Rencana tersebut pun telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pembangunan infrastruktur dasar ibu kota baru dapat dimulai pada 2020. Hal ini dapat terwujud apabila kajian lokasi ibu kota baru selesai tahun ini.

"Kajian ini akan kita finalkan tahun ini sehingga keputusan lokasi juga kita harapkan bisa dilakukan tahun ini. Sehingga 2020 bisa dilakukan paling tidak persiapan untuk pembangunannya maupun pembangunan infrastruktur dasar itu sendiri," ujarnya di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (13/5/2019).

Bambang melanjutkan selain kajian lokasi, pemindahan ibu kota baru juga membutuhkan landasan hukum yang kuat. Landasan hukum ini pun membutuhkan koordinasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Yang pasti beberapa produk hukum yang diperlukan awalnya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) ini harus direvisi tentunya kalau ada wilayah yang akan dijadikan ibu kota baru," jelasnya.

Menteri Bambang menambahkan, calon ibu kota baru nantinya tidak boleh padat penduduk seperti kondisi Jakarta saat ini. Ibu kota baru ini, dipersiapkan menampung 1,5 juta penduduk yang terdiri dari anggota legislatif, yudikatif dan eksekutif antara lain PNS, Polri, TNI, DPR, MA dan MK dengan masing-masing anggota keluarga 4 orang.

"Ibu kota baru pun seperti saya sampaikan didesain hanya untuk 1,5 juta orang. Ini jumlah yang udah memperhitungkan jumlah maksimalnya. Karena perkiraan PNS di pusat beserta legislatif dan yudikatif. Karena DPR juga pindah, yudikatif MA, MK juga pindah perkiraan 200.000 orang," jelasnya.

"Kemudian yang Polri-TNI 25.000. Kemudian pihak keluarga yang pindah patokan satu keluarga 4 orang itu 800.000 ditambah pelaku bisnis yang mendukung kegiatan ekonomi di ibu kota baru karena pasti ada kegiatan ekonomi bisnis yang terkait dengan ibu kota baru. Sehingga total 1,5 juta orang," tandasnya. 

4 dari 4 halaman

Ini Risiko Jika Ibu Kota Pindah

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) merencanakan pemindahan Ibu Kota Negara. Sejumlah lokasi di luar Jawa tengah ditinjau untuk memastikan kesiapannya.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira memandang, sebelum merealisasikan pemindahan ibu kota, pemerintah dinilai perlu memperhatikan sejumlah risiko.

Pertama, dengan telah diketahuinya beberapa lokasi yang menjadi opsi Ibu Kota Negara nantinya, menjadikan lahan bagi para spekulan tanah. Ini nanti bisa menyebabkan biaya pembebasan lahan cukup tinggi.

"Ini pada akhirnya bisa terkait beban utang pemerintah yang semakin membengkak," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (13/5/2019).

Kedua, jika salah satu alasan pemerintah pemindahan ibu kota karena DKI Jakarta sudah terlalu macet, sebenarnya itu bukan solusi terbaik.

"Ini tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Jumlah kendaraan dinas ynag berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi dari swasta dan rumah tangga," tambahnya.

Resiko ketiga adalah mampu meningkatkan inflasi. Pada kenyataannya, dengan adanya arus urbanisasi sebagai dampak pemindahan ibu kota negara ini akan menimbulkan melonjaknya harga kebutuhan pokok di kota yang menjadi pilihan pemindahan ibu kota.

Dan risiko keempat, pemerintah dinilai harus membangun ekonomi masyarakat yang akan menjadi ibu kota baru sebelum nantinya dipindahkan.

"Ketimpangan di ibu kota baru makin melebar imbas pendatang, karena mereka lebih mampu secara ekonomi, dibanding dengan penduduk lokal yang miskin," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.