Sukses

Sektor Tambang hingga Infrastruktur Topang IHSG Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan didorong berlanjutnya sentimen positif dalam dua pekan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan didorong berlanjutnya sentimen positif dalam dua pekan ini.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (29/6/2019), IHSG menguat 0,68 persen ke level 6.358 pada 28 Juni 2019 dari pekan lalu di posisi 6.315,43. Sektor pertambangan dan infrastruktur menjadi kontributor besar untuk kenaikan IHSG selama pekan ini.

Aksi beli investor asing juga menjadi tenaga IHSG. Tercatat investor asing beli saham sebesar USD 86 juta atau sekitar Rp 1,21 triliun (asumsi kurs Rp 14.129 per dolar Amerika Serikat).

Sementara itu, indeks saham LQ45 mampu mencatatkan kenaikan sebesar 0,88 persen dan mengungguli kinerja IHSG.

Di pasar obligasi, indeks obligasi naik 0,54 persen setelah dua minggu membukukan kinerja baik. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun menguat menjadi 7,37 persen.

Posisi nilai tukar rupiah juga menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi 14.126. Investor asing beli obligasi mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp 14,12 triliun hingga perdagangan Kamis pekan ini.

Ada sejumlah sentimen yang bayangi pasar keuangan termasuk IHSG pada pekan ini. Pertama, perkembangan terbaru perang dagang. Amerika Serikat (AS) dan China tentatif menyetujui gencatan senjata lain dalam perang dagang untuk melanjutkan perundingan yang bertujuan menyelesaikan perselisihan perdagangan.

Salah satunya tertuang dalam rincian perjanjian. Perjanjian itu akan mencegah putaran tarif berikutnya untuk tambahan USD 300 miliar barang impor China, yang jika diterapkan akan memperpanjang sanksi untuk hampir semua pengiriman barang ke Amerika Serikat (AS).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Brexit hingga Neraca Dagang RI Surplus

Kedua, Brexit. Boris Johnson salah satu calon perdana menteri Inggris berikutnya telah menola tuntutan mengesampingkan penangguhan parlemen untuk mendorong Brexit tanpa kesepakatan dan persetujuan anggota parlemen. Johnson menuturkan, peluang Brexit tanpa kesepakatan adalah “satu melawan satu”. Namun, ia berjanji menggantikan perjanjian yang dinegosiasikan oleh Theresa May.Uni Eropa telah berulang kali mengatakan kalau kesepakatan itu tidak untuk negosiasi ulang.

Ketiga, data ekonomi AS. Data ekonomi AS terus menunjukkan pelemahan. Pesanan baru untuk barang tahan lama buatan AS turun 1,3 persen dari bulan sebelumnya pada Mei 2019 setelah merosot 2,8 persen yang direvisi pada April dan lebih buruk dari harapan pasar yang turun 0,1 persen.

Selain itu, penjualan rumah keluarga tunggal baru di AS turun 7,8 persen dari bulan sebelumnya ke tingkat tahunan yang disesuaikan secara musiman 626 ribu pada Mei 2019. Sementara itu, pasar memperkirakan kenaikan 1,9 persen menjadi 680 ribu. Angka itu merupakan level terendah sejak Desember.

Dari internal, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan. Secara mengejutkan, Indonesia membukukan surplus perdagangan USD 0,21 miliar pada Mei 2019.

Hal itu didorong dari ekspor turun 8,99 persen secara year on year (YoY) dan impor melemah 17,71 persen. Selama lima bulan pertama tahun berjalan 2019, Indonesia alami defisit USD 2,14 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu USD 2,87 miliar.

3 dari 3 halaman

Strategi Investasi ke Depan

Lalu apa yang perlu dicermati ke depan?

PT Ashmore Assets Management menyatakan kalau pihaknya optimistis terhadap pasar ke depan seiring respons positif dari sentimen pelonggaran.

Ada peluang di pasar obligasi ke depan dan selama didukung siklus penurunan suku bunga yang diharapkan terjadi pada kuartal III 2019.

Lalu bagaimana dengan tren investasi ke depan yang dapat berikan imbal hasil optimal?

Bila melihat kondisi pemulihan pada 2017-2017 setelah aksi jual sehingga terjadi devaluasi yuan, obligasi akan memimpin setelah pemulihan.

"Secara historis pada awal siklus menguat ada periode 3-9 bulan obligasi mengungguli saham. Jika pasar berada di bawah bersamaan dengan silus pelonggaran moneter, obligasi memperpanjang kinerjanya," seperti dikutip dari laporan Ashmore.

Pada 2018-2019, dengan asumsi terjadi pada Oktober 2018, ada satu bulan tersisa untuk kinerja lebih dari obligasi.

"Kami berharap mengingat suku bunga riil belum dipangkas, obligasi akan memperpanjang kinerjanya mirip dengan 2016-2018, namun ketika risiko berkurang, itu tidak semenarik saham di fase berikutnya," tulis Ashmore.

Pada fase kedua, ketika penurunan suku bunga terjadi, saham secara historis mengungguli obligasi baik secara nominal dan penyesuaian risiko. Ini karena ketika pasar disesuaikan dengan biaya modal lebih rendah, saham akan lebih menarik.

"Saat risiko pasar meningkat, ara pasar ditetapkan dan terbuka untuk pertumbuhan lebih tinggi dalam saham berkapitalisasi kecil. Dalam struktur saham di Indonesia, ada lebih banyak pilihan saham yang sensitif dengan suku bunga," tulis Ashmore.

Dengan melihat kondisi sebelumnya, Ashmore menilai, investasi dengan bobot obligasi lebih besar. Kemudian menambahkan ke saham terutama saham kapitalisasi kecil sebelum kembali ke saham unggulan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.