Sukses

Penggabungan Batasan Produksi Rokok Optimalkan Penerimaan Cukai

Penghentian kebijakan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM justru menguntungkan sejumlah perusahaan rokok asing.

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk kembali melanjutkan kebijakan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Anggota Komisi XI DPR RI, Amir Uskara mengatakan, adanya kebijakan ini akan membantu Kemenkeu yang ingin mengoptimalkan penerimaan negara dari cukai industri hasil tembakau sehingga target cukai pada 2019 dapat tercapai.

“Saya mendorong Kementerian Keuangan untuk melanjutkan kebijakan penggabungan volume produksi SKM dan SPM yang jumlah produksinya di atas 3 miliar batang. Kebijakan ini dapat mencegah pabrikan besar asing melakukan tax avoidance,” ujar dia di Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Menurut Amir, penghentian kebijakan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM justru menguntungkan bagi sejumlah perusahaan rokok besar asing. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut tetap menikmati tarif cukai yang lebih rendah sehingga berhadap-hadapan langsung dengan perusahaan rokok kecil.

"Jangan sampai ada perusahaan rokok besar asing dengan pendapatan triliunan tetapi membayar cukai rokok yang lebih rendah,” ujarnya.

Jika dibiarkan berlarut-larut, Amir memperkirakan kondisi ini akan menciptakan kegaduhan di industri hasil tembakau. Sebab, dengan terus menikmati tarif cukai yang rendah, perusahaan besar akan mematikan pangsa pasar perusahaan kecil. Karena itu, Kemenkeu harus meneruskan kebijakan penggabungan batasan produksi demi menciptakan iklim bisnis yang kondusif.

“Dengan demikian, hal ini dapat menciptakan persaingan adil dan sehat karena pabrikan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, sementara pabrikan kecil akan bersaing dengan pabrikan kecil,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pabrik Rokok Asing Nikmati Tarif Cukai Murah

Sementara itu Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susanto, menambahkan pabrikan rokok kecil selama ini tertekan dengan pabrikan besar asing yang menikmati tarif cukai murah. Pemerintah, menurut dia, seharusnya mengatasi persoalan ini dengan segera menggabungkan batasan volume produksi SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang. Pabrikan yang jumlah gabungan produksi SKM dan SPM mencapai tiga miliar batang harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing golongan.

"Jika tidak diakumulasikan antara produksi SKM dan SPM, hal ini menjadi pertanyaan dari aspek keadilan. Berarti perusahaan rokok besar asing menikmati tarif yang lebih murah. Selama ini yang menikmati pembedaan SKM dan SPM ini justru perusahaan asing, bukan perusahaan lokal,” tegasnya.

Dengan penggabungan ini, Heri menjelaskan, tercipta persaingan yang adil dan sehat. "Pengabungan SKM dan SPM supaya pabrik-pabrik besar yang punya brand internasional mainnya tidak seperti sekarang, ada yang golongan satu dan ada yang golongan dua. Dengan digabung, semua pabrik besar, apalagi pabrikan asing, harus naik ke atas , masuk golongan I," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pihaknya akan menutup celah peraturan cukai yang digunakan oleh perusahaan rokok untuk mengalihkan pembayaran cukai yang menggunakan golongan tarif yang lebih murah. “Kami akan tetap fokus mengurangi kelompok industri yang kemudian lari ke kelompok lain atau melakukan evasion atau penghindaran,” ujar Sri Mulyani pada Februari 2019 lalu.

3 dari 3 halaman

Penyederhanaan Tarif Cukai Berpotensi Matikan Industri Rokok Skala Kecil

Kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai bagi industri tembakau dinilai akan merugikan industri rokok skala kecil dan menengah. Kebijakan ini bahkan berpotensi membuat industri kecil gulung tikar.‎

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Wilayah Surabaya Sulami Bahar mengatakan, ‎kebijakan simplifikasi akan berdampak negatif terhadap perkembangan industri tembakau skala kecil dan menengah serta industri rokok secara nasional. 

Menurut dia, ada sejumlah dampak negatif jika kebijakan simplifikasi tersebut diterapkan. Salah satunya akan mendorong peredaran rokok ilegal semakin marak dan sulit dikendalikan.

"Kemudian, hasil dari para petani kurang terserap secara maksimal nantinya, selama ini kan industri yang serap. Pada dasarnya kami kurang setuju jika kebijakan tersebut diterapkan saat ini," ujar dia di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Selain itu jika simplifikasi diterapkan, lanjut dia, maka akan ada pengurangan sejumlah industri rokok skala kecil yang ada saat ini.

"Saat ini kan ada 10 layer, ini sangat ideal diberlakukan di Indonesia, mengingat beragamnya jenis industri rokok, ada yang skala kecil, menengah dan besar," kata dia.‎

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.