Sukses

Harga Tiket Pesawat Mahal Bikin Industri Pariwisata Lesu?

Mahalnya tiket pesawat dituding sebagai dalang lesunya sektor pariwisata di tanah air.

Liputan6.com, Jakarta - Mahalnya tiket pesawat dituding sebagai dalang lesunya sektor pariwisata di tanah air.

Jumlah wisatawan dan okupansi atau tingkat hunian hotel menurun dianggap sebagai dampak mahalnya tarif transportasi udara yang membuat masyarakat enggan bepergian.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai, kinerja sektor pariwisata menurun tidak sepenuhnya salah maskapai yang menaikkan harga tiket. Ada hal lain yang juga turut mendorong anjloknya jumlah wisatawan dan okupansi hotel.

"Hotel mengeluh, turis mengeluh. Itu karena tidak bisa mengurusnya. Kita sudah 5.0, mereka masih 1.0. Kenapa pariwisata kurang? Ya itu karena Menteri Pariwisata tidak bisa mengurus sektor pariwisata. Jangan salahkan airline," kata dia dalam sebuah acara diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (15/6/2019).

Dia menyebutkan, saat ini kemajuan teknologi kian pesat. Hotel atau penginapan harus mengikutinya sebab masyarakat zaman sekarang lebih senang memesan hotel dengan cara praktis melalui aplikasi online travel agent (OTA).

Menurut dia, pengelola hotel masih banyak yang ketinggalan zaman. Di saat mayoritas turis memesan hotel dan penginapan melalui OTA, mereka masih menjalankan bisnisnya secara manual. Sementara hotel itu jumlahnya semakin banyak.

Selain itu, dia mengungkapkan masih banyak infrastruktur penunjang pariwisata yang belum menunjang sehingga harus dilakukan perbaikan. Misalnya jalan untuk masuk menuju lokasi wisata.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga Avtur dan Dolar AS Pengaruhi Harga Tiket Pesawat

Dalam kesempatan serupa, Pengamat Penerbangan, Chappy Hakim mengatakan, lesunya industri pariwisata saat ini memang berkaitan dengan mahalnya tiket pesawat. Namun, andilnya tidak besar.

"Ada hubungannya tapi tidak bisa dikatakan hubungannya menjadi gara-gara turunnya jumlah penumpang bikin inflasi naik dan hotel turun," ujar dia.

Jika pariwisata menurun, disarankan agar mencari strategi lain untuk menggaet wisatawan. Kenaikan tarif tiket pesawat tidak dapat dihindari karena baik avtur maupun biaya operasi lainnya yang juga terus naik sehingga maskapai harus menyesuaikan harga tiket agar tetap bisa beroperasi.

"Dilihat lagi tiket mahal itu karena dia berhadapan dengan harga avtur naik yang relatif bersamaan dengan kurs dolar AS yang naik. Bukan semata karena turunnya jumlah penumpang yang gunakan pesawat," ujar dia.

Kedua hal tersebut membuat maskapai mau tidak mau menaikkan tarif tiketnya agar tidak bangkrut. Oleh karenanya, seharusnya turis bisa menyesuaikan diri dengan menggunakan moda transportasi lain yang tarifnya lebih terjangkau.

"Karena pesawat mahal tapi mahalnya buat bayar kecepatan, kalau ke bandung pakai jalur darat membutuhkan waktu 6 jam untuk sampai, kalau pesawat jadi setengah jam," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Pengamat: Kehadiran Maskapai Asing Ancam Sektor Penerbangan RI

Mahalnya tiket pesawat menjadi masalah yang berlarut-larut. Hal tersebut dimulai sejak akhir tahun lalu dan berlanjut terus hingga musim arus mudik dan balik Lebaran 2019.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan akan membuka pintu bagi maskapai asing yang ingin membuka rute penerbangan di tanah air. Hal itu guna menurunkan harga tiket pesawat maskapai domestik yang dinilai terlalu kehamahalan.

Pengamat penerbangan sekaligus mantan KSAU, Chappy Hakim menyebutkan, mengundang maskapai asing bukanlah merupakan sebuah solusi yang tepat. Bahkan hal itu dapat mengganggu kepentingan nasional terutama di sektor perhubungan udara.

Maskapai asing yang beroperasi di tanah air sendiri terdiri dari dua jenis yaitu format investasi dan saham mayoritas atau cabotage.

"Dua - duanya ada masalah disana, ada tantangan besar di sana," kata dia salam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (15/6/2019).

Dia menuturkan, cabotage dinilai kurang sejalan, banyak aturan main yang perlu diperbaharui jika ingin mengundang maskapai asing melalui format tersebut.

"Aturan bisa aja kalau kita mengubah, cuma banyak yang harus kita perhitungkan," ujarnya.

Dia menekankan, jangan sampai nantinya maskapai asing mengeruk keuntungan dari dalam negeri. Terutama Indonesia merupakan ladang bisnis yang cukup basah bagi dunia penerbangan sebab merupakan negara kepulana yang otomatis akan sangat bergantung pada koneksi udara.

"Apabila memang benar-benar dibuka kesempatan bagi maskapai asing, maka bisa terjadi bahwa ada maskapai asing yang melihat peluang besar untuk memperoleh keuntungan di Indonesia karena Indonesia negara kepulauan," ujar dia.

Di tengah kondisi maskapai tanah air yang tengah berdarah-darah, kedatangan maskapai asing terutama yang memiliki modal besar akan menjadi pukulan menyakitkan.

"Apabila maskapai asing yang melirik opportunity yang begitu besar dan memiliki kapital kuat, dia bisa dengan mengambil alih semuanya. Tidak ada maskapai asing saja Merpati bangkrut, Garuda belum selesai dengan lilitan utangnya. Bagaimana kalau maskapai asing dengan kapital yang besar bisa mengambil alih semuanya? itu sangat berbahaya," tegasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.