Sukses

Pencabutan Fasilitas Bebas Cukai di Batam Beri Keadilan bagi Pengusaha

Pelaku industri menilai, langkah pemerintah cabut kebijakan bebas cukai akan memberikan keadilan bagi para pelaku industri di dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku industri menyambut baik langkah pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang mencabut kebijakan bebas cukai di area perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ).

Langkah tersebut dinilai akan memberikan keadilan bagi para pelaku industri di dalam negeri.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI),‎ Henry Najoan mengatakan, tidak ada kawasan khusus bebas cukai ini menunjukkan adanya itikad baik dari pemerintah terhadap usaha yang berkeadilan.

‎"GAPPRI mendukung keputusan Pemerintah mencabut kebijakan bebas cukai di FTZ Batam, Bintan, Karimun dan Tanjung Pinang. Keputusan ini tentu juga akan berdampak baik untuk penerimaan negara dari cukai tembakau," ujar dia di Jakarta, Selasa (28/5/2019).

Henry menyatakan, dari data yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rokok tanpa cukai yang beredar di Batam selama ini mencapai 2,5 miliar batang. Sementara jumlah penduduk di Batam hanya sekitar 1,3 juta jiwa. 

"Perbandingan jumlah rokok tanpa cukai dengan jumlah penduduk ini sangat timpang, sehingga berpotensi rokok tanpa cukai akan beredar di luar kawasan FTZ," kata dia.

Dengan demikian, lanjut dia, kebijakan ini secara otomatis juga akan memerangi peredaran rokok ilegal.

Henry juga optimistis dengan ada kebijakan tersebut dapat menstimulus dunia usaha terutama sektor tembakau dapat kembali bergairah. 

"Sejak 17 Mei 2019, Dirjen Bea Cukai (DJBC) sudah menghentikan fasilitas di FTZ. Hal‎ tersebut memberi dampak positif untuk pendapatan negara dan persaingan dunia usaha. GAPPRI juga mendukung rencana ekstensifikasi barang kena cukai yang saat ini sedang dibahas," ujar dia.

Selain itu, GAPPRI juga mengapresiasi operasi pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai selama ini. Hasilnya, terjadi penurunan jumlah rokok ilegal yang cukup signifikan.

"Karena rokok ilegal mengganggu dan merugikan pabrikan yang patuh. Berdasarkan data yang ada saja (dari Kemenkeu) peredaran rokok ilegal di tahun 2017 kurang berada pada kisaran angka 12,4 persen, namun angka tersebut dapat ditekan pemerintah pada 2018 menjadi di kisaran angka 7,04 persen. Kita juga apresiasi dan perlu mendukung langkah pemerintah yang menargetkan peredaran rokok ilegal akan ditekan di 2019 ini sampai di bawah angka 3 persen," tandas Henry.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Alasan Pencabutan Bebas Cukai Rokok dan Minuman Alkohol di Batam

Sebelumnya, Pemerintah memutuskan mencabut pembebasan cukai atas barang konsumsi berupa barang kena cukai di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) atau free trade zone (FTZ) di Batam, Bintan Karimum, dan Tanjung Pinang.

Hal itu berlaku 17 Mei 2019. Kebijakan ini diberlakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan kajian optimalisasi penerimaan negara di KPBPB pada  2018.

Dari kajian itu ada sejumlah hasil yang ditemukan antara lain ada perluasan ruang lingkup pemberian fiskal terhadap barang konsumsi akibat tidak jelasnya definisi ruang lingkup barang konsumsi yang membuka diskresi oleh pejabat yang berakibat tingginya penyelundupan barang-barang konsumsi dari KPBPB terutama Batam.

Selain itu, ditemukan indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan insentif fiskal di KPBPB antara lain pembebasan cukai 2,5 miliar batang rokok senilai Rp 945 miliar (tahun 2018).

Hasil kajian KPK juga menemukan praktik-praktik pemasukan secara melanggar hukum atas barang yang terkena larangan/pembatasan melalui KPBPB ke wilayah pabean lainnya.

KPK pun merekomendasikan untuk mengevaluasi secara komprehensif atas pembentukan KPBPB. Selain itu, evaluasi komprehensif mencakup opsi antara lain penghentian pemberian pembebasan bea masuk, pajak dan cukai untuk barang konsumsi di KPBPB.

 

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Dengan menindaklanjuti rekomendasi KPK itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Bidang Perekonomian) telah rapat koordinasi dengan pimpinan KPK, Menteri/Kepala Lembaga, Gubernur Kepulauan Riau, bupati/walikota, Kepala Badan Pengusahan (BP) KPBPB pada 28 Maret 2019. 

Selain itu juga dilaksanakan rapat koordinasi teknis pada 11 Maret 2019, 3 Mei 2019, dan 8 Mei 2019.

Hasil rapat itu memutuskan beberapa hal terkait pembebasan cukai barang konsumsi yang berupa barang kena cukai.

Disepakati segera melaksanakan rekomendasi KPK dengan mencabut pemberian fasilitas cukai. Hal ini mempertimbangkan Undang-Undang Nomor39 Tahun 2007 tentang cukai mengatur rokok dan minuman beralkohol termasuk jenis barang kena cukai dan Undang-Undang Cukai tidak memberikan pembebasan atas pemasukan KPBPB.

Selain itu, ketentuan pasal 17 (ayat 2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 mengatur pemasukan barang kena cukai untuk kebutuhan konsumsi di KPBPB "dapat" diberikan pembebasan cukai.

"Dengan demikian Peraturan Pemerintah ini tidak mewajibkan pemberian pembebasan cukai, sehingga pencabutan fasilitas pembebasan cukai tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012," tulis Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi.

Untuk mengantisipasi peningkatan permintaan cukai, kepala kantor yang membawahi pabrik hasil tembakau di tempat lain dalam daerah pabean agar mempercepat proses pelayanan P3C.

Selain itu, kepala kantor yang mengawasi pabrik hasil tembakau di KPBPB agar mempertimbangkan kebutuhan konsumsi di KPBPB tersebut yang sebelumnya tidak menggunakan pita cukai menggunakan pita cukai dalam hal terdapat pengajuan P3C izin kepala kantor.

"Terhadap kemasan BKC khusus kawasan bebas masih bisa digunakan sepanjang dilekati pita cukai," tulis Heru.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.