Sukses

INDEF: Jakarta Tetap Macet Meski Ibu Kota Pindah

Pemindahan ibu kota belum tentu jadi solusi kemacetan di Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, bergesernya ibu kota dari Jakarta ke tempat lain tetap belum mampu untuk mengurai kepadatan lalu lintas yang selama ini terjadi.

Itu disebabkan lantaran jumlah kendaraan dinas yang berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi yang kerap berkeliaran di Jakarta.

"Total kendaraan pribadi di Jakarta 17 juta unit, semntara kendaraan dinas 140 ribu unit. Apakah berpindahnya para PNS kementerian keluar Jakarta signifikan kurangi kemacetan? Jawabannya tidak sama sekali," tegas dia kepada Liputan6.com.

Selain itu, ia juga turut mencermati potensi terjadinya ketimpangan ekonomi di ibu kota baru, imbas kehadiran pendatang yang secara ekonomi lebih mampu dibanding dengan penduduk lokal.

"Kalau mau pindah ibu kota perlu dipikirkan nasib warga lokal, jangan hanya jadi penonton saja. Ketimpangan yang tinggi bisa ciptakan kriminalitas, bahkan lebih buruk dari jakarta," sebut dia.

Dampak negatif lain yang juga jadi perhatiannya yakni terkait potensi peningkatan harga kebutuhan pokok. Menurutnya, perpindahan ibu kota dapat mengakibatkan inflasi sehingga menaikan harga kebutuhan pokok.

"Pemindahan ibu kota bisa menimbulkan inflasi karena arus urbanisasi ke tempat baru naikan harga kebutuhan pokok," pungkas dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jakarta Sebagai Pusat Bisnis Tetap Kuat

Bhima juga yakin posisi Jakarta sebagai pusat bisnis tak akan melemah pasca melepas statusnya sebagai kota nomor satu RI.

Dalam hal ini, ia berkaca pada keputusan Pemerintah Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur menuju Putrajaya.

"Enggak juga. Pusat bisnis akan tetap di Jakarta. Belajar dari kasus Putrajaya di Malaysia, pusat bisnis tetap di ada di Kuala Lumpur," ujar dia.

Lebih lanjut, Bhima juga turut memperhatikan berbagai dampak pemindahan ibu kota.

Dia menilai anggaran pemerintah dari APBN cukup berat, lantaran total biaya yang disampaikan Bappenas sebesar Rp 466 triliun terhitung masih belum memasukan pembengkakan yang terjadi akibat spekulasi tanah.

"Biaya pembebasan lahan mahal karena ulah spekulan tanah. Tidak semua tanah akan disediakan oleh tanah negara, karena skala kebutuhan yang ckup besar, kontur tanah, dan lain sebagainya," tutur dia.

"Biaya lain juga bisa muncul. Konsekuensi dari mahalnya biaya itu akan menambah defisit APBN dan utang pemerintah. Jadi untuk saat ini tidak feasible secara ekonomi," serunya.

Di sisi lain, ia menyatakan perusahaan swasta dan BUMN mungkin tertarik mendanai pembangunan properti untuk rumah Aparatur Sipil Negara (ASN) di ibu kota baru. Namun, sambungnya, itu akan sulit untuk biaya bangun gedung pemerintahan lantaran sifatnya bukan komersil. 

"Sejauh ini porsi investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur hanya 7 persen. BUMN pun harus hitung untung rugi dan jangka waktu pengembalian modalnya. Jika terlalu lama return-nya dan BUMN terpaksa utang akan sebabkan financial distress atau tekanan keuangan," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Pemerintah Perlu Perhatikan Hal Ini Sebelum Pindah Ibu Kota

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia, Bernardus Djonoputro mengungkapkan, sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pemindahan ibu kota.

Salah satunya perencanaan yang matang. Sebab ini, kali pertama Indonesia membangun kota dengan skala besar.

Dia menuturkan, dari sisi proses pemerintahan perlu merencanakan secara matang kota baru tersebut. Beberapa pertimbangan seperti kaitannya dengan kota lain, juga dampaknya terhadap pembangunan Indonesia ke depan harus diperhatikan.

"Masukan dari sisi proses. Karena kita akan bikin sebuah ikon yang jadi standar bagi kota yang lain. Kita enggak pernah bikin kota baru. Jadi kalau kita bikin ibu kota sekarang kita jadi pertama kali bikin kota baru, besar langsung ibu kota negara lagi. Dia akan jadi benchmark. Ruh perencanaan visioner diperlukan," ujar dia, di Jakarta, Jumat, 17 Mei 2019.

Hal berikut adalah kerja sama yang solid antarlembaga Pemerintah. Pembangunan kota baru, kata dia, merupakan proyek yang kompleks sehingga kerja sama lintas instansi sangat penting.

"Pelibatan kelembagaan. Beberapa kota baru ini di-manage kelembagaan solid untuk bisa memotong rentang birokrasi, pengambilan keputusan dan termasuk pengadaan lahan, dan pembiayaan," tutur dia.

"Ini penting supaya bisa proses jangka panjang dan tidak terbatas oleh siklus politik 5 tahunan," ia menambahkan.

Hal-hal mutlak diperlukan. Sebab pembangunan ibu kota baru juga menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan dunia internasional.

"Ini yang susah kita bicara brand Indonesia. Kita jadi sorotan dunia, seperti apa kota baru besar, dari megapolitan dipecah, diambil fungsi pemerintahannya. Bagaimana, how moving 1,5 million ini akan menjadi example," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.