Sukses

Jelang Lebaran, Masyarakat Harus Bijak Pakai Pinjaman Online

Jelang Lebaran 2019, perencana keuangan meminta masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan pinjaman daring dari fintech.

Liputan6.com, Jakarta - Jelang Lebaran 2019, perencana keuangan meminta masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan pinjaman daring dari perusahaan teknologi finansial (fintech lending). 

Hal ini untuk mencegah timbulnya masalah karena ketidakmampuan masyarakat dalam mengembalikan pinjaman

"Yang jelas, yang namanya pinjaman harus dikembalikan, maka sebelum memutuskan untuk meminjam, mesti terlebih dahulu punya rencana pengembaliannya. Apalagi uang tunai via fintech biasanya memiliki jangka waktu yang sangat pendek dan bunga relatif tinggi," kata Perencana Keuangan Zielts Consulting Ahmad Gozali di Jakarta, Sabtu (11/5/2019).

Dia menyarankan, masyarakat lebih baik menggunakan uang pinjaman pada awal bulan puasa agar mudah ketika mengembalikannya. 

"Misalnya untuk belanja kebutuhan Lebaran di awal Ramadhan saat belum terlalu ramai. Pinjam dulu uangnya dan dikembalikan setelah menerima Tunjangan Hari Raya (THR) di akhir Ramadan,” ujarnya.

Selain itu, masyarakat dipinta untuk meminjam uang di perusahaan fintech yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebab, saat ini, masih marak terjadi kasus hukum dalam penagihan utang karena masih ada masyarakat yang meminjam uang di fintech ilegal. 

"Jika fintech sudah terdaftar di OJK, maka mereka harus mengikuti standar perilaku dalam penagihan. Tidak boleh sembarangan," ucapnya.

"Jadi bukan hanya masalah etika penagihan, ya, tetapi juga masalah kerahasiaan dan kemanan data pribadi kita," tambah dia.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Permintaan Diprediksi Meningkat

Sementara itu, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Tumbur Pardede mengatakan permintaan pinjaman pada bulan puasa 2019 diproyeksikan meningkat dibandingkan tahun lalu. 

 

Sebelum puasa pada Mei 2018 lalu, jumlah akumulasi penyaluran pinjaman meningkat 13,65 persen. Selama puasa, Juni 2018, jumlah akumulasi penyaluran pinjaman meningkat 24,03 persen. Setelah puasa, Juli 2018, jumlahnya meningkat sebesar 20,55 persen.

 

“Untuk tahun 2019, kami memperkirakan kenaikannya melebihi dari tahun lalu seiring bertambahnya jumlah penyelenggaraan fintech lending dan meningkatnya pemahaman masyarakat soal fintech lending,” kata Tumbur.

 

3 dari 3 halaman

Pelaku Fintech Akui Tingginya Standar Kantongi Izin OJK

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong fintech penyedia platform Peer to Peer (P2P) Lending untuk mendaftar diri dan diuji oleh OJK.

Hal ini dilakukan dalam rangka pengawasan. Saat ini sudah ada 99 fintech yang terdaftar di OJK.

CEO dan Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengakui, tidak mudah memperoleh izin dari OJK. Amartha, kata dia, sudah mendaftar sejak 2017. Saat ini menjalani tahap perizinan.

"Yang sekarang sudah dibangun lumayan berat tapi butuh effort untuk bangun infrastruktur yang kuat, yang secure. Kita untuk memenuhi itu butuh waktu 1 tahun," kata dia, ketika ditemui, Jakarta, Rabu, 10 April 2019.

Meskipun demikian, dia mengatakan standar tinggi yang diterapkan OJK memang diperlukan untuk memastikan satu fintech benar-benar sehat dan aman untuk dimanfaatkan jasanya oleh masyarakat.

"Perlu untuk jaga konsumen, agar perusahaan membangun bisnis secara prudent," ujar dia.

"Menurut kita OJK perlu buat standar supaya industri tumbuh secara sehat. Bukan hanya tumbuh tapi NPL naik atau tumbuh tapi konsumen banyak yang complain soal pengelolaan dananya," lanjut Taufan.

Dia pun membeberkan, sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh satu provider P2P lending untuk mendapatkan izin dari OJK. Salah satunya harus mengantongi sertifikat ISO 27001 terkait keamanan informasi.

"Kita memang diawasi secara ketat untuk mendapatkan izin. Menurut saya, karena lembaga keuangan, ada dana publik di situ. Mereka (OJK) bangun standar mendekati bank. Meskipun tidak se-rigid bank," urai dia.

OJK juga menekankan pentingnya kerja sama dengan digital signature maupun kerja sama dengan asuransi. Hal tersebut untuk memastikan perlindungan konsumen dan untuk lender bisa terproteksi.

"Kita juga harus penuhi Good Corporate Governance (GCG), sampai anti-money laundrying. Kita harus punya bagaimana men-screening dana-dana teroris," ujar dia.

"Kita juga harus membangun, misalnya kalau sampai amit-amit perusahaan bangkrut, bagaimana dana konsumen bisa balik itu yang harus kita bangun sistemnya," imbuhnya.

Total dana yang telah disalurkan Amartha pada 2018 sekitar Rp 700 miliar, meningkat lebih dari 200 persen dari 2017 sebesar Rp 200 miliar.

Sejak 2010, fintech ini telah menyalurkan Rp 951 miliar dari 60,000 lebih investor dan kini telah memiliki mitra yang tersebar di 3.500 desa seluruh pulau Jawa.

"Kita juga ada rencana untuk mulai di luar Pulau Jawa. Kita juga mau launching aplikasi IOS," ujar dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.