Sukses

Ibu Kota Baru Harus Punya Akses ke Pantai, Mengapa?

Selain dekat dengan air, pemerintah juga mempertimbangkan untuk mencari lokasi yang cenderung aman dari bencana alam.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan, ibu kota baru setidaknya harus memiliki akses ke pantai. Keputusan ini diambil demi memperkuat citra Indonesia sebagai sebuah negara maritim.

Pemerintah disebutnya telah membuat beberapa keputusan terkait ide lokasi ibu kota baru ini. Selain dekat dengan air, pemerintah juga mempertimbangkan untuk mencari lokasi yang cenderung aman dari bencana alam.

"Pertama kita cari titik yang aman, sebab negara kita berada di ring of fire. Kemudian memiliki sumber-sumber daya air, kemudian yang mempunyai akses ke pantai. Walaupun itu tidak harus di tepi pantai, tapi harus punya akses ke pantai karena kita ini negara maritim," tuturnya di Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Menurut BMKG, Basuki melanjutkan, Pulau Kalangan merupakan lokasi paling aman dari bencana karena posisi daratannya. Selain itu, letak pulau yang berada di tengah-tengah Nusantara juga terbilang strategis untuk diakses, baik dari sisi barat maupun timur.

Secara biaya, ia mengestimasikan dana yang dihitung Kementerian PPN/Bappenas untuk pembangunan ibu kota di luar Jawa mencapai angka sekitar Rp 466 triliun.

"Kalau hitungannya Bappenas, itu kan banyak kriterianya. Kalau dipindah semua untuk kota pemerintahan, itu butuh (lahan) 40rb ha, biayanya sekitar 466 triliun," jelas dia.

Namun, nominal biaya tersebut dihitungnya bisa mengecil jika pemerintah hanya membawa para abdi negara saja untuk menghuni ibu kota baru.

"Tapi kalau hanya ASN-nya saja dengan rightsizing itu dibutuhkan sekitar 870 ribu orang. Kalau itu butuh (lahan) 30 ribu ha, biayanya sekitar Rp 323 triliun," ujar Basuki.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ibu Kota Pindah, Bagaimana Nasib Jakarta?

Setelah isu pemindahan ibu kota negara mencuat, Jakarta disebut-sebut akan sepi penduduk. Hal itu karena selama ini Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan bisnis di Indonesia.

Dengan adanya pembangunan infrastruktur transportasi seperti MRT, Jakarta diharapkan akan bertransformasi menjadi kota modern. Namun jika ibu kota negara dipindah, apakah harapan tersebut akan terwujud? 

"Kita akan tetap dukung apa yang sudah dibangun di Jakarta. Kita pindahkan ibu kota bukan buat menyaingi Jakarta, kok. Lihat contoh Washington DC, apakah DC menyaingi New York? Pusat bisnis tersibuk, kan, tetap New York. Karena DC tidak didesain jadi seramai New York. Jadi, Jakarta tetap akan dikembangkan," ungkap Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Menurut Bambang, Jakarta tetap harus dibangun karena Indonesia butuh urbanisasi. Urbanisasi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Tiap 1 persen urbanisasi, lanjut Bambang, akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata sebesar 3 persen. Namun di Indonesia, imbas tiap 1 persen urbanisasi hanya memberi kontribusi 1,4 persen pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini lantaran masih buruknya layanan dasar dan infrastruktur perkotaan.

Sementara, pemindahan ibu kota negara dirancang untuk fokus membangun ekosistem pemerintahan serta beberapa bisnis pendukung. Ini dilakukan demi mencapai pemerataan ekonomi dan pembangunan yang Indonesia-sentris.

3 dari 3 halaman

Pemindahan Ibu Kota Butuh Biaya Rp 466 Triliun

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru seluas 40 ribu hektare di luar Pulau Jawa membutuhkan sekitar Rp 466 triliun.

"Kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi di mana skenario satu diperkirakan sekali lagi akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau USD 33 miliar, " kata Bambang dikutip dari Antara, Senin (29/4/2019).

Luas lahan 40 ribu hektare dibutuhkan jika jumlah penduduk mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri turut migrasi ke ibu kota baru.

"Dengan penduduk 1,5 juta di mana pemerintahan akan membutuhkan 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, permukiman 40 persen dan ruang terbuka hijau 20 persen. Diperkirakan dibutuhkan lahan minimal 40 ribu hektare untuk membuat ibu kota baru, itu skenario yang pertama," jelas Bambang.

Sementara untuk skenario kedua dengan keperluan luas lahan yang lebih kecil, yakni 30.000 hektare, dikalkulasi membutuhkan biaya Rp323 triliun atau 23 miliar dolar AS.

Untuk skenario kedua, jumlah orang yang bermigrasi yakni 870.000 jiwa terdiri dari aparatur sipil negara kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, aparat TNI dan Polri, dan pelaku ekonomi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.