Sukses

KPPU Sulit Dapat Data Kemitraan Pengusaha Perkebunan dan UMKM

Perjanjian kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM bertujuan memberi jaminan kesetaraan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku sulit mendapatkan data terkait realisasi kemitraan antara pengusaha perkebunan dengan pelaku Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM).

Padahal, merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pengusaha perkebunan diwajibkan untuk memfasilitas pembangunan kebun masyarakat paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.

"Untuk perkebunan, ada amanat UU 39/2014 yang bilang 20 persen wajib dialokasikan untuk mitra. Jadi wajib bermitra," ujar Komisioner KPPU Guntur Saragih saat Forum Group Discussion (FGD) di kantornya, Jakarta, Selasa (23/4/2019).

Dia menekankan, pentingnya perjanjian kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM bertujuan untuk memberi jaminan kesetaraan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dalam berusaha.

"Hal ini penting, agar dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha besar dapat turut membina dan mengembangkan usaha pelaku UMKM serta memperoleh jaminan barang atau produk yang berkualitas," serunya.

Di sisi lain, ada perjanjian kemitraan ini juga dapat menumbuhkembangkan pelaku UMKM jadi lebih besar serta memberikan kepastian usaha, pemasaran, hingga permodalan.

"Kami hadir sebagai lembaga yang mengawasi kemitraan di sektor perkebunan guna memberi keyakinan kepada pelaku usaha, sehingga tetap patuh pada aturan persaingan usaha," tegas dia.

Namun begitu, KPPU, menurut dia belum memiliki data terkait realisasi kemitraan antara pengusaha perkebunan dan mitra UMKM.

Guntur pun menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian seharusnya memegang data tersebut.

"Jika pemerintah sebagai pemberi izin tidak punya data, itu cukup aneh. KPPU akan berangkat dari situ. Kalau pemerintah sampai tidak punya itu, akan kami kaji," ujar dia.

Guntur pun menyerukan, bila dalam sebuah kemitraan terbukti terjadi pelanggaran, maka KPPU dapat memberikan surat peringatan hingga menutup izin usaha sebagai sanksi terberat.

"Sanksi terberat bisa sampai ditutup izin usahanya. KPPU tidak ingin ada usaha kecil dikuasai atau dikendalikan pengusaha besar sehingga pengusaha kecil mati atau tidak berkembang," pungkas dia.

 

 

* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 di sini

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

KPPU Bakal Panggil Kemendag dan Kementan soal Impor Bawang Putih

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan memanggil Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait kuota impor bawang putih ‎yang diberikan kepada Perum Bulog untuk impor 100 ribu ton pada 2019.

Anggota Komisioner KPPU, Guntur Sirangih mengatakan, KPPU akan mendalami adanya potensi persaingan tidak sehat dari impor bawang putih.

Lantaran dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 mewajibkan importir untuk melakukan penanaman bawang putih sebesar 5 persen dari kuota impornya. Namun, dalam impor yang dilakukan oleh Perum Bulog, ketentuan ini tidak diwajibkan.

"Kementan harusnya minta tanam 5 persen, kalau Bulog yang impor enggak," ujar dia di Kantor KPPU, Senin, 25 Maret 2019.

Dia menuturkan, hal ini menjadi tidak adil bagi importir lain yang wajib melakukan penanaman bawang putih.

"KPPU mendorong agar perlakuannya sama dengan yang lain. Kalau memang langka dan darurat, maka volumenya hanya untuk kelangkaan," kata dia.

Oleh sebab itu, KPPU akan memanggil Kementan dan Kemendag untuk mengkonfirmasi masalah ini.

KPPU belum bisa mengambil kesimpulan apakah ada unsur pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat atau tidak sebelum adanya penjelasan dari dua kementerian tersebut.

"Soal bawang putih, KPPU akan memanggil Kemendag dan Kementan, kita mau minta penjelasan kalau memang ada kelangkaan," tandas dia.

3 dari 4 halaman

KPPU Dalami Enam Kasus pada Industri Penerbangan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat ada enam kasus pada industri penerbangan dalam setahun terakhir. Dari enam kasus tersebut, tiga diantaranya telah masuk dalam tahap penyelidikan.

Anggota Komisioner KPPU Guntur Saragih mengatakan, tiga kasus yang masuk tahap penyelidikan yaitu soal dugaan kartel harga tiket, tarif kargo udara dan rangkap jabatan direksi Garuda Indonesia dan Sriwijaya.

Sementara tiga kasus lain masih dalam tahap penelitian atau meminta keterangan dari pihak terkait, yaitu soal harga avtur, tarif bagasi dan masalah AirAsia dengan Traveloka.

"Jadi tahap penyelidikan ada tiga. Yang masih tahap penelitian juga tiga," ujar dia di Kantor KPPU, Jakarta, Senin, 25 Maret 2019.

Menurut Guntur, enam kasus yang tengah digali oleh KPPU ini merupakan terbanyak dalam satu kategori industri.

"Kami belum pernah sebanyak ini dalam satu industri, ini paling banyak, belum pernah sebanyak ini. Perkara 2018 sampai 2019 ini kan," ungkap dia.

KPPU akan terus mendalami keenam kasus ini. Sementara untuk sanksi, jika terbukti bersalah maka pihak yang terlibat bisa dikenakan sanksi maksimal Rp 25 miliar.

"Jadi kalau satu pelaku usaha nantinya terbukti melakukan pelanggaran, sanksi Rp 25 miliar maksimal. Kalau ada enam pelanggaran ya tinggal enam dikali Rp 25 miliar," tandas dia.

4 dari 4 halaman

KPPU Angkat Bicara Soal Penetapan Tarif Ojek Online

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ikut angkat bicara soal penetapan tarif batas bawah ojek online (ojol). Ada dua hal yang menjadi perhatian dari lembaga ini.

Anggota Komisioner KPPU Guntur Saragih mengatakan, sebenarnya KPPU tidak merekomendasikan adanya penetapan tarif batas bawah ojek online. Hal ini lantaran tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha.

"KPPU tidak merekomendaikan batas bawah operator dengan konsumen," ujar dia di Kantor KPPU, Jakarta, Senin (25/3/2019).

Namun KPPU juga bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan usaha mikro, kecil dan menegah (UMKM). Dalam hal ini, pengemudi ojek online masuk kategori UMKM.

"Dalam konteks ini KPPU menjalankan Undang-Undang (UU) UMKM Nomor 20 Tahun 2008, menugaskan KPPU mengawasi kemitraan pelaku usaha besar dan kecil dalam hal ini driver. Driver juga sebagai pelaku usaha," kata dia.

Oleh sebab itu, dalam rangka melindungi para pengemudi ojek online, KPPU mengajak lembaga lain ikut mengawasi jalannya bisnis ojek online ini.‎

"Dalam konteks persaingan, KPPU mendorong tidak ada batas bawah. Tapi dalam melindungi UMKM tidak semuanya dikuasai oleh pengusaha besar, dalam hal ini untuk melindungi driver. Kita mendorong Kementerian Koperasi dan UMKM," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.