Sukses

Strategi Menko Luhut agar Proyek OBOR Tak Bebani Utang

Pemerintah akan meneken proyek Inisiatif Sabuk Satu Jalan atau one belt one road (OBOR).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan meneken proyek Inisiatif Sabuk Satu Jalan atau one belt one road (OBOR).

Kerja sama OBOR ini diinisiasi oleh China dengan tujuan membuka keran konektivitas dagang antarnegara di Eropa dan Asia melalui jalur sutera maritim.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menekankan, kerja sama proyek termasuk dalam rangka pinjaman akan dilakukan secara business to business (B to B).

"Saya ingin garis bawahi one belt one road (OBOR) itu tidak ada kita lakukan G to G (government to government). Yang kita lakukan B to B. Jadi loan tidak ada ke pemerintah Indonesia. Loan itu semua langsung masuk ke proyek," kata dia, di kantornya, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Dengan demikian, kata Luhut, kerja sama OBOR tersebut tidak akan menambah beban utang pemerintah Indonesia terhadapnya China.

"Jadi proyek itu yang membayar loan itu tadi. Beda dengan format yang di Srilanka, beda format di Malaysia. Sama sekali beda. Sekarang Malaysia mau ikut kita," ujar dia.

Dia pun menuturkan, saat ini posisi utang Indonesia yang ditarik dari China masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang.

"Hutang kita dengan China itu sekarang tinggal Rp 22 triliun. Tidak sampai USD 2 bilion. Sangat kecil. Jauh lebih besar hutang kita itu kepada Jepang. Jadi tidak ada yang aneh," ungkapnya.

Dia pun menegaskan, Indonesia tidak hanya menjalin kerja sama semata dengan China saja. Indonesia, kata dia, menjalin kerja sama dengan negara manapun yang memang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

"Sekarang tidak mau kita juga hanya Indonesia dengan Tiongkok. Kita ajak negara lain untuk masuk. Seperti misalnya di Morowali ada Jepang, ada Prancis," ujarnya.

"Jadi jangan dibilang kita mau ke China. Kita enggak bodoh. Kalian tidak usah ragu lah. Tidak mungkin kita buat negeri kita ini diatur negara lain," tandasnya.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ingin Ikut China Bangun Jalur Sutera Baru, Italia Bikin Gerah AS dan Eropa

Sebelumnya, baru-baru ini, pemerintah Italia mengisyaratkan tekadnya untuk memainkan peran sentral dalam rencana besar China dalam membangun Jalur Sutera Baru untuk perdagangan global, meskipun hal tersebut "membuat gerah" Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE).

Pemerintah populis Italia menyatakan siap mendukung keikutsertaannya dalam proyek Jalur Sutera Baru senilai US$ 1 triliun besutan China, di mana akan menjadikannya sebagai proyek perdagangan global paling terpadu.

Dikutip dari The Guardian pada Kamis (21/3/2019), proyek tersebut akan menghubungkan perniagaan antara Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa melalui jaringan pelabuhan, kereta api, terowongan dan infrastruktur lainnya.

Italia dikabarkan akan menandatangani nota kesepahaman yang tidak mengikat (MoU) selama kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Negeri Pizza, pada pekan ini.

MoU tersebut akan menjadikan Italia sebagai negara G7 pertama pendukung inisiatif Jalur Sutera Baru, dan berharap akan menghidupkan kembali ekonominya yang lesu, sekaligus membantu membuka akses lebih besar terhadap pasar besar China.

Gerakan Lima Bintang (M5S), partai populis yang memerintah bersama Liga sayap kanan, telah menjadi kekuatan pendorong di belakang kolaborasi China dan Italia, dalam sebuah inisiatif yang diyakini Washington sebagai upaya Beijing dalam memperkuat pengaruh politik dan strategisnya.

Garrett Marquis, juru bicara kelompok penasihat keamanan nasional Gedung Putih, awal bulan ini memperingatkan Italia untuk tidak memberikan legitimasi pada "proyek kesombongan infrastruktur" China, dan menyebut hal itu dapat merusak reputasi globalnya.

Di lain pihak, Uni Eropa khawatir perjanjian Italia dan China akan memicu perpecahan dengan negara-negara anggota lainnya, yang tengah mewaspadai tujuan ekspansionis Beijing.

Manlio Di Stefano, seorang wakil menteri di kementerian luar negeri Italia dan anggota M5S, menepis kekhawatiran di atas, mengatakan bahwa kesepakatan itu tentang Italia "menciptakan peluangnya sendiri".

"Ini adalah inisiatif kolaboratif yang akan memungkinkan Italia untuk mengekspor lebih banyak, dan berpartisipasi dalam infrastruktur Jalur Sutera Baru," katanya.

"Ini pasti akan menjadi hal yang baik bagi perekonomian Italia. Banyak negara Uni Eropa telah memiliki perjanjian komersial besar dengan China, jadi mengapa harus khawatir?" lanjut Di Stefano.

3 dari 3 halaman

RI Tetap Waspadai Efek Perang Dagang AS-China

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengaku lega dengan keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) yang menahan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR). Hal ini menandakan tekanan terhadap ekonomi Indonesia tidak lagi besar.

Meski demikian, Menko Darmin mengaku, pemerintah masih terus mewaspadai efek perang dagang antara AS-China yang belum juga mereda.Awalnya kedua negara itu sepakat akan berdamai pada awal Maret 2019, namun hingga kini belum juga menunjukkan perkembangan.

"Tadinya rencana awal Maret (penyelesaian perang dagang), kemudian belum ada posisi jelas, ya tidak maju dan tidak mundur. Kita lihat saja. Karena yang pasti dua-duanya merugi," ujar Menko Darmin saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat 22 Maret 2019.

Menko Darmin melanjutkan, efek perang dagang AS-China memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebab, negara tersebut merupakan dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

"Perang dagang ini dampaknya lebih besar untuk kita. Karena yang pertama, dua negara itu tujuan ekspor terbesar kita. Jadi, kalau dia mengalami kerugian dua duanya ya berikutnya kita juga ikut rugi," jelasnya.

Menko Darmin berharap perang dagang yang terjadi sejak awal 2018 ini dapat segera mereda. Sehingga, ekonomi Indonesia pun dapat tumbuh sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

"Artinya kita sangat terpengaruh. Ekspor komoditas kita paling besar ke China dan AS. Oleh karena itu, buat kita, kalau perang dagang itu dapat diredam apalagi bisa diselesaikan, akan baik sekali," tandasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.