Sukses

Energi Terbarukan Bakal Gerus Pendapatan PLN dan Pertamina

Pertamina harus mulai membangun dan memperkuat bisnis petrokimia. Gas yang selama ini dipasok sebagai bahan bakar mesti mulai diarahkan menjadi bahan baku industri.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, mengatakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT), seperti solar panel akan membuat masyarakat memproduksi listrik secara mandiri alias menjadi individual power producer.

Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi penyedia listrik semacam PLN. Jika masyarakat semakin mampu menghasilkan listri sendiri, maka permintaan listrik dari PLN tentu akan berkurang.

"Bayangkan kalau semua kita pasang rooftop di rumah masing-masing 30 persen kebutuhan listrik dari solar sel. Kita tidak perlu lagi listrik dari perusahaan listrik," kata dia, dalam pembukaan pameran 'The 7th Edition of INAGREENTECH 2019', JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Kamis (4/4/2019).

Nantinya masyarakat akan mendapatkan pasokan listrik dari fuel sel atau baterai yang mendapatkan energi dari solar panel yang dipasang di rumah masing-masing. "Bila kita sudah produksi sendiri tidak perlu lagi transmisi tegangan tinggi, distribusi kabel, masuk ke rumah kita. Fuel sel dan baterai besar akan menjadi pasokan industri. Sudah ada 100 MW. Fuel sel 100 MW," jelas dia.

Sektor industri pun tidak perlu lagi memasok listrik dari luar. Dia hanya perlu membangun fasilitas penyuplai listrik sendiri. "Sudah ada fuel sel 100 MW seperti satu pembangkit. Dia ingin realibility dia bikin 2 Pembangkit 100 MW untuk suplai beban 100 MW. Selesai. Dia mau lebih aman dia bikin tiga. Itulah industri masa depan." jelas dia. 

"SPBU tidak diperlukan lagi. Pembangkit fosil tidak kita butuhkan lagi. Kita jangan bicara waktu. Ada yang bilang masih lama. Tapi kita tidak antisipasi, selalu stay behind, selalu ketinggalan dari negara lain kita akan selalu menjadi pasar dari negara lain," imbuhnya.

Karena itu, perusahaan-perusahaan penyuplai energi seperti PLN dan Pertamina sudah harus mulai mengantisipasi perkembangan ini. Inovasi dan upaya mencari arah bisnis baru mutlak diperlukan. "Perusahaan ini harus dari sekarang mengantisipasi itu, kalau tidak nanti bangkrut dan sadarnya telat," tegasnya.

Sebagai contoh, kata dia, Pertamina bisa mulai membangun dan memperkuat bisnis petrokimia. Gas yang selama ini dipasok sebagai bahan bakar, mesti mulai diarahkan menjadi bahan baku industri.

"Gas kalau jadi bahan baku, minimal 5 kali lebih besar daripada dibakar. Presentasi Departemen Perindustrian, gas jadi bahan baku kaos, kaos itu dijual Rp 50.000, lalu dibandingkan mana lebih untuk buat kaos atau bakar sebagai energi. Ternyata nilai tambah kaos itu, 5 kali lebih besar," urai dia.

"Industri petrokimia harus kita bangun cepat. Kalau tidak Pertamina akan ada jedah waktu yang kebingungan memasok atau menjual migas bila tidak dari sekarang antisipasi," lanjutnya.

Bisnis area pun akan berubah. PLN dan Pertamina tidak akan lagi menjadi pemasok energi berbasis fosil, melainkan akan ikut dalam persaingan bisnis solar sel dan baterai.

"Bisnis area berubah. Perusahaan listrik dan minyak mereka akan compete untuk menjadi perusahaan solar sel untuk menjadi perusahaan baterai. Negara yang impor baterai dan solar sel akan sama dengan negara yang (sekarang) mengimpor energi. Negara yang ekspor baterai dan solar sel akan menjadi negara yang mengekspor energi nantinya," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

RI Terus Genjot Pemakaian Energi Terbarukan

Pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, terus mendorong penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah Air. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harris mengatakan, cadangan energi fosil terus berkurang setiap tahun. Oleh karena itu, jika sumber energi alternatif tidak dipersiapkan sejak dini, dapat menggangu kebutuhan akan energi. 

"Kalau kita kembali melihat kepada bagaimana energi di Indonesia sampai dengan saat ini, kita masih menggunakan energi fosil sebanyak 90 persen lebih. Batu bara paling banyak kemudian minyak dan gas. Karena terus berkurang pemanfaatannya, maka kita kurangi," kata dia, dalam pembukaan The 7th Edition of INAGRRENTECH 2019 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Kamis (4/4/2019). 

Dia menuturkan, untuk mengurangi penggunaan energi fosil, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan penggunaan EBT.

"Untuk melakukan itu maka peran energi bersih yang terbarukan, yang sustainable kita tingkatkan. Wujudnya lewat tenaga angin, tenaga matahari yang wujudnya banyak. Ini belum diterapkan maksimal karena perannya di bawah 10 persen," urai dia.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik masih 12,4 persen pada 2018. Sumber energi terbesar untuk pembangkit listrik masih berasal dari batu bara sebesar 60,5 persen dan gas bumi, 22,1 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.