Sukses

Penolakan Produk Sawit Justru Jadi Bumerang Bagi Uni Eropa

Wakil Presiden Jusuf Kalla memaparkan dampak jika produk sawit Indonesia diboikot oleh Uni Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla memaparkan dampak jika produk sawit Indonesia diboikot oleh Uni Eropa. Menurutnya, boikot sawit tersebut tak hanya berdampak bagi Indonesia tetapi juga kepada Uni Eropa juga.

"Kalau itu dipaksakan, tidak bisa sawit itu dikurangi, kita juga dapat ambil tindakan yang mengurangi juga kita dengan Eropa," kata JK usai membuka Talent Fest di Jiexpo, Jakarta Pusat, Jumat (22/3).

Dia mendukung hal tersebut karena jika kelapa sawit diboikot maka berdampak kepada 15 juta pekerja dan petani sawit di Indonesia. Sehingga daya beli pun akan turun.

"Karena kalau sawit diboikot maka akan merugikan setidak-tidaknya 15 juta pekerja. Maka mereka daya belinya turun, ekonomi kita bisa rusak maka kita tidak beli barang Eropa. Bisa terjadi itu," kata Jusuf Kalla.

Pemerintah pun sudah melobi pihak Eropa bahwa sawit tidak akan merusak lingkungan. "Ini kan masalah hutan, ada juga tentu tapi kita sekarang sudah moratorium," ungkap JK.

Hal senada juga ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Padjaitan menyatakan, sawit dan produk turunannya merupakan komoditas andalan nasional. Selain menghasilkan devisa juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah penghasil. Sebab itu, rancangan kebijakan diskriminatif terhadap produk turunannya industrial sawit akan berdampak pada rakyat secil.

"Ini berdampak ke petani kecil yang jadi konsen Presiden. Kalau kami tidak membela rakyat kecil kami bela siapa? Ini menurunkan kemiskinan," kata Luhut, di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (20/3).

Luhut menuturkan, jika rancangan kebijakan diskriminasi terhadap produk sawit tidak bisa ditawar, pemerintah pun sudah menyiapkan langkah untuk memboikot produk Eropa yang ada di Indonesia. Baik produk konsumsi hingga produk besar seperti kendaraan dan pesawatnya udara.

"Kalau begini banyak juga produk Eropa di Indonesia, yang jadi masalah kami banyak pakai bus truck Scania, kami juga sedang rapat pakai kereta Polandia," tutur dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Uni Eropa Tangkis Isu Diskriminasi Minyak Sawit Indonesia

Uni Eropa (UE) resmi membantah melakukan pelarangan dan diskriminasi minyak sawit. Minyak sawit Indonesia pun disebut masih diterima.

"Penting juga diingat bahwa pasar Uni Eropa, 28 Negara Anggota, sepenuhnya terbuka bagi minyak sawit. Tidak ada sama sekali larangan terhadap minyak sawit," tulis Uni Eropa dalam rilis resmi yang diterima Liputan6.com.

Yang disorot UE dalam Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive, REDII) juga bukan hanya minyak sawit, melainkan juga oil crops seperti bunga matahari, rapeseed, dan kedelai yang berpotensi mengakibatkan deforestasi tidak langsung. 

Menurut REDII, itu terjadi ketika lahan untuk produk makanan diganti untuk produksi biofuel. Akibatnya, hutan dan lahan gambut berpotensi jadi sasaran demi mengganti lahan yang dipakai untuk biofuel, sehingga terjadi deforestasi tidak langsung.

"Peraturan diperlukan untuk memastikan produksi bahan baku untuk biofuel merupakan bahan berkelanjutan dan tidak menyebabkan deforestasi melalui perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change, ILUC)," tulis UE.

Selain itu, UE juga membantah adanya diskriminasi terhadap produk minyak sawit. Pasalnya, ada kabar bahwa ada preferensi terhadap minyak bunga biji matahari dan kedelai. "Tidak ada biofuel atau bahan baku tertentu yang menjadi target. Semua minyak nabati diperlakukan setara. Minyak sawit tidak diperlakukan sebagai bahan bakar nabati buruk," tulis UE.

Selain menepis tudingan diskriminatif, pihak EU juga terus membuka ruang dialog. Sebelumnya, UE juga mempersilahkan Indonesia untuk membawa kasus minyak sawit ke World Trade Organization (WTO).

"Aturan pelaksanaan dari Komisi Eropa ini bukan suatu awal maupun akhir dari proses kebijakan. Ini merupakan satu lagi langkah dalam perjalanan panjang dan bersama menuju pembangunan berkelanjutan dan netralitas karbon," kata Vincent Guérend, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.