Sukses

Defisit Neraca Perdagangan Tekan Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.096 per dolar AS hingga 14.130 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Jumat ini. Defisitnya neraca perdagangan Januari menjadi sentimen yang dominan mempengaruhi pergerakan rupiah.

Mengutip Bloomberg, Jumat (15/2/2019), rupiah dibuka di angka 14.0946 per dolar AS, melemah tipis jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.090 per dolar AS. Menjelang siang, rupiah terus melemah hingga ke level 14.117 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.096 per dolar AS hingga 14.130 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 1,89 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di anagka 14.116 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.093 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah pada perdagangan hari ini melemah terbatas pasca-rillis data neraca perdagangan Januari 2019 yang menunjukkan defisit sebesar USD 1,16 miliar.

"Defisit neraca perdagangan lebih tinggi dari konsensus. Rupiah bisa melemah terbatas ke kisaran 14.190 per dolar aS hingga 14.220 per dolar AS," kata Analis Pasar Uang Monex Investindo Futures Dini Nurhadi Yasyi seperti dikutip dari Antara.

Menurut Dini, defisitnya neraca perdagangan Januari akan menjadi sentimen yang dominan mempengaruhi pergerakan rupiah pada hari ini seiring sentimen dari eksternal dimana ada pertemuan negosiasi dagang antara AS dan China di Beijing.

Presiden China Xi Jinping hari ini bertemu dengan para pejabat tinggi AS, termasuk Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin. Pertemuan diharuskan mencapai kesepakatan sebelum batas waktu 1 Maret 2019 yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump, meskipun Trump mengatakan terbuka untuk memperpanjang tenggat waktu itu.

"Trump ingin waktu tambahan 60 hari dari tenggat waktu tanggal 1 Maret. Dari komentarnya Trump bisa beri sentimen positif ke pasar. Soalnya ia mengatakan itu dilakukan karena mereka ingin ada win-win solution," ujar Dini.

Sementara itu, ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih memprediksi Bank Indonesia (BI) akan menjaga rupiah pada kisaran yang relatif stabil antara 14.070 per dolar AS hingga 14.100 per dolar AS seiring defisitnya neraca perdagangan Januari 2019.

"Hal itu sebagai upaya antisipasi potensi sentimen negatif terhadap neraca perdagangan Januari 2019 yang masih defisit cukup besar," ujar Lana.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Faisal Basri: Rupiah Masih akan Bergejolak di Tahun Politik

Sebelumnya, ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa kestabilan nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tantangan di tahun politik. Bahkan rupiah dinilai masih mengalami pelemahan di 2019 ini.

Faisal mengatakan, meski di awal tahun waktu rupiah sempat menguat ke level 13.000 per dolar AS, tetapi saat ini rupiah kembali ke 14.000 per dolar AS.

"Rupiah tidak menguat secara signifikan, masih akan naik turun. Secara psikologis dan historis rupiah masih akan melemah," ujar dia dalam Market Outlook 2019 Mandiri Manajemen Investasi di Jakarta, pada Rabu 13 Februari 2019. 

Tekanan terhadap rupiah masih bersumber dari defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menurunkan CAD agar rupiah bisa menguat dan stabil di 2019.

"Karena masih CAD, kalau current account ini defisit ya rupiah melemah. Karena CAD ini terdiri dari ekspor impor barang dan jasa. Nah kalau utang tidak setiap bulan. Jadi (penguatan) rupiah yang mengandalkan utang tidak akan sustainable. Tapi kalau mengandalkan CAD bisa sustain," kata dia.

Selain itu, meski ekspor dan impor merupakan kegiatan yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, namun Indonesia harus bisa menekan impor khususnya untuk barang-barang yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri dan menggenjot ekspor nonmigas.

"Ekspor-impor sebetulnya suatu hal yang lumrah dilakukan oleh suatu negara. Kalau kita tidak bisa bikin suatu produk, ya terpaksa impor. Tapi kita juga harus jual produk kita ke pasar negara lain. Ini supaya seimbang," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.