Sukses

Ingin Jor-joran Bangun Infrastruktur, Pangeran Saudi Siapkan Rp 5.989 Triliun

Pengembangan infrastruktur di Arab Saudi bertujuan agar Arab Saudi tidak lagi bergantung pada minyak.

Liputan6.com, Riyadh - Pangeran Arab Saudi Muhammad bin Salman (MbS) menyiapkan rencana ambisius untuk membangun infrastruktur di negaranya. Rencana ini bertujuan agar negara tidak lagi bergantung pada minyak.

Dilaporkan Bloomberg, Pangeran Muhammad bin Salman berupaya menanamkan 1,6 triliun riyal atau Rp 5.989 triliun (1 riyal = Rp 3.743) dalam proyek rel kereta, bandara, dan perindustrian pada tahun 2030.

Menteri Energi Khalid Al-Falih menyebut, sekiranya 70 deal senilai lebih dari 200 miliar riyal (Rp 748 triliun) akan ditandatangani pihak kerajaan ketika Pangeran MbS mengungkapkan rencananya pada Senin (28/1/2019).

"Rencana ini sangat ambisius, tetapi jangkanya selama 10 tahun jadi kami memiliki waktu untuk melakukannya," ujar Al-Falih.

Fokus di infrastruktur ini bukan berarti Saudi sepenuhnya meninggalkan ekonomi minyak negaranya.

Menteri Energi menyebut Saudi tidak akan berhenti membangun perekonomian minyaknya.

Pangeran Muhammad bin Salmanadalah putra mahkota Raja Salman. Ia adalah penguasa de facto Arab Saudi. Pria berusia 33 tahun itu juga terkenal di Sillicon Valley sebagai investor besar di dunia teknologi.

Reputasi Pangeran MbS sempat tercoreng akibat dugaan keterlibatannya dalam pembantaian jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul, Turki. Kasus ini memancing reaksi dari para pebisnis, seperti Elon Musk, yang menjadi ogah menerima duit Arab Saudi.

Sampai saat ini, infrastruktur di Arab Saudi berada di peringkat 40 dari 140 negara versi Global Competitiveness Report. Peringkat Saudi masih di bawah infrastruktur Qatar yang ada di posisi 26. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harga Minyak Anjlok 3 Persen

Harga minyak turun 3 persen pada penutupan perdagangan Selasa karena kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia usai China mengumumkan bahwa ekonomi di negara tersebut mengalami pertumbuhan paling lambat dalam 28 tahun.

Selain itu, ramalan pertumbuhan global yang suram oleh Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) membebani harga minyak mentah karena para pedagang khawatir tentang pasokan yang meningkat pada 2019 meskipun harga lebih rendah.

Ditambah lagi, sentimen kekenyangan pasokan juga menjadi dasar penurunan harga minyak. Pelaku pasar melihat produksi besar-besaran AS tidak dapat diimbangi oleh pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutu. 

Mengutip Reuters, Rabu (22/1/2019), harga miyak mentah berjangka Brent turun USD 1,82 atau 2,9 persen ke level USD 60,92 per barel. Sedangkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 1,57 atau 2,9 persen menjadi USD 52,23 per barel.

Data dari Arab Saudi pada Senin kemarin menunjukkan ekspor minyak mentah pada November naik menjadi 8,2 juta barel per hari dari 7,7 juta barel per hari pada Oktober. Hal tersebut terjadi karena produksi naik menjadi 11,1 juta barel per hari.

"Kami melihat penurunan yang sangat besar pada rig (pengeboran minyak AS) pada Jumat, tetapi tergantung pada apakah Arab Saudi benar-benar akan melakukan pemotongan ini," jelas Tariq Zahir, managing member Tyche Capital, New York, AS.

Analis juga memperkirakan, kekhawatiran pasar atas kedalaman pemotongan produksi oleh OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, juga mendorong harga minyak lebih rendah pada perdagangan Selasa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini