Sukses

Harga Tiket Pesawat Turun, Penjualan Langsung Meningkat

Pembelian tiket bahkan sudah terjadi untuk jadwal penerbangan 1 hingga 2 bulan ke depan.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Carriers Association/INACA) sepakat untuk menurunkan tarif tiket pesawat. Di akhir tahun, harga tiket pesawat sempat melambung dan menuai protes masyarakat.

Direktur Utama Garuda Indonesia Airlines (GIA), I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara) mengungkapkan penjualan tiket langsung laris manis sejak harga diturunkan. Padahal sebelumnya terjadi penurunan pada penjualan tiket pesawat.

"Sekarang iya (penjualan tiket) langsung meningkat," kata Ari saat ditemui di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).

Ari menyebutkan kenaikan terjadi sebesar 10 persen. Kenaikan tersebut dinilai tidak terlalu besar sebab saat ini sudah mulai memasuki masa low season.

Ari mengungkapkan ada beberapa destinasi yang tiketnya terjual dengan cepat pasca adanya penurunan harga. " Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, Medan, gitu-gitu," ujarnya.

Pembelian tiket bahkan sudah terjadi untuk jadwal penerbangan 1 hingga 2 bulan ke depan. Ari menilai masyarakat mungkin takut akan terjadi kenaikan harga lagi sehingga membeli tiket dari jauh-jauh hari.

"Beli dan mereka takut naik lagi yang 1-2 bulan langsung dbeli. Itu ada kenaikan penjualan," ujarnya.

Diketahui, PT Garuda Indonesia sudah menurunkan tarif tiket pesawat untuk sejumlah rute menyusul hasil konsolidasi Kementerian Perhubungan dan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Indonesia Indonesia (Inaca) soal lonjakan harga tiket beberapa waktu lalu.

Seperti tiket Aceh-Jakarta yang awalnya Rp 3,2 juta saat ini sudah turun Rp 1,6 juta, selain itu Jakarta-Surabaya dari Rp 1,6 juta menjadi Rp 1,3 juta.

Sementara itu, rute Jakarta-Surabaya tarif sudah mulai turun menjadi Rp 500.000 dan Jakarta-Yogyakarta Rp 300.000-Rp 400.000.

Ari mengaku sejumlah rute memang belum turun tarifnya karena permintaan yang masih tinggi, seperti Jakarta-Denpasar pada waktu-waktu sibuk mulai pukul 06.00-09.00 atau pada sore hari.

"Karena di rute-rute tertentu di 'prime time' itu permintaanya tinggi seperti ke Denpasar, apalagi Kamis sore sampai Senin siang semua jam pasti penuh," tandasnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

INACA Buka-bukaan Soal Kondisi Maskapai Penerbangan Sulit Sejak 2016

Mahalnya harga tiket pesawat rute domestik di akhir tahun menuai protes masyarakat. Tarif tiket pesawat domestik dinilai mahal bahkan bila dibandingkan dengan tarif pesawat rute internasional.

Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara) mengatakan kondisi maskapai-maskapai di tanah air saat ini sedang tidak baik. Maskapai umumnya sedang diterpa masalah keuangan terutama sejak terjadinya pelemahan nilai tukar Rupiah.

Pria yang juga merupakan Direktur Utama Garuda Indonesia Airlines tersebut menyebutkan bisnis penerbangan memiliki beberapa variabel biaya pengeluaran yang sebagian besar dibayar dengan Dolar Amerika Serikat (AS).

Sementara masyarakat yang membeli tiket menggunakan mata uang Rupiah. Pengeluaran maskapai sangat bergantung dengan volatilitas pasar.

"Semua masyarakat juga tahu pembayaran kami dari komponen biaya variabel. Semua komponen biaya dalam USD. Sedangkan dari kursnya sendiri berfluktuasi, harga komoditinya juga," kata Ari di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Dalam hal avtur BBM sendiri, ada peningkatan harga yang signifikan. Sementara BBM merupakan komponen terbesar untuk biaya operasi maskapai, yaitu sekitar 40-45 persen.

"Kami catat dari INACA dari April 2016 sampai Desember 2018 harga terendah dan tertinggi untuk avtur itu sebesar 171 persen, kursnya 17 persen dan average kita 8 persen. Jadi kita punya struktur cost yang kompetitif. Kalau kontribusi paling besar memang dari fuel. Kontribusinya 40-45 persen," ujar dia.

Lalu ada komponen pembayaran leasing untuk sewa pesawat 20 persen. Perusahaan leasing ini lebih didominasi Eropa dan AS. Imbasnya, perbaikan atau maintenance dikuasai kedua perusahaan tersebut karena tipe pesawat di dominasi oleh Boeing dan Airbus.

"Jadi kami sangat tergantung pada fluktuasi dan license dari Airbus dan Boeing. 10 persennya biaya pegawai yang perlu makan. Dari Garuda sendiri 10 ribu karyawan, Citilink 2.000 , Sriwijaya 4.500. Jadi ini masyarakat yang perlu kami biayai dan masuk dalam komponen cost kita," ungkapnya.

Dari semua komponen pengeluaran tersebut, Ari menyebutkan margin keuntungan yang didapat maksimal hanya 3 persen saja. Itupun jika tarif tiket pesawat yang diterapkan mendekati tarif batas atas.

"3 persen itu sudah paling bagus dengan harga selangit (tiketnya). Sementara kemarin ketika Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas. Sedangkan LCC hanya 60-70 persen dari batas atas," ungkap dia.

Ari mengaku kaget saat tarif pesawat bisa menjadi isu nasional. "Kondisi saya ini enggak mengerti kenapa jadi isu nasional sehingga sebelum kami akan menurunkan harga tiket pun pada tanggal 14 Januari dari high season jadi low season itu sudah dijadikan isu nasional dan sebelum itu kami sudah menurunkan," tegas dia.

Dia juga mengaku telah banyak dicecar pertanyaan tentang kapan tarif pesawat akan turun. Adapunemungkinan pengurangan tarif rata-rata yang bisa dilakukan oleh maskapai adalah 30 persen. Perhitungan ini sudah sesuai dengan batas terendah agar maskapai tidak rugi. "Itu batas kemampuan mereka. Itu batas yang mereka bisa kompensasikan supaya tidak rugi."

Kondisi itu memaksa maskapai untuk berinovasi mencari sumber pendapatan lain agar tidak rugi. Sebab pendapatan dari penjualan tiket tidak mampu menutup pengeluaran. "Lion Air dari baggage, Garuda dari kargo. Dari harga tiket sendiri, kita sudah kelelep," ujarnya.

Kondisi ini juga diperparah oleh keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif batas atas pesawat sejak tahun 2016 dengan pertimbangan daya beli masayrakat. Padahal, moda tranportasi lain seperti bus dan kereta api tarifnya sudah naik berkali-kali.

"Kami mengerti pemerintah tidak bisa menaikkan dari 2016 karena melihat daya beli masyarakat, oleh karena itu kami tidak pernah demo untuk menaikkan harga," ujarnya.

Selain itu, maskapai juga masih memiliki pengeluaran layanan infrastruktur seperti untuk pengelola bandara yaitu Angkasa Pura dan Airnav selaku pengatur lalu lintas udara.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini