Sukses

Begini Peran Srikandi RI Atasi Rumitnya Divestasi Freeport

Pemerintah Indonesia akhirnya resmi memiliki 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia akhirnya resmi memiliki 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Untuk mengambil alih saham tersebut, pemerintah Indonesia melewati berbagai proses.

Lewat tulisannya, Pendiri Program Doktor Ilmu Strategi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali memaparkan cerita di balik divestasi terumit di dunia dan peran tiga srikandi Indonesia. Tiga srikandi tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Dalam tulisan tersebut, Rhenald Kasali menyebutkan kalau ada salah satu cerita yang tak diketahui publik, yaitu bagaimana salah satu srikandi Indonesia menghadapi CEO dan Vice Chairmen Freeport McMoran Copper and Gold Inc, Richard Adkerson.

"Kalau cerita bagaimana Sri Mulyani menghadapinya, sebagian sudah beredar. Lain kali saya jelaskan. Tapi saya ingin menjelaskan dulu peran Rini (Menteri BUMN Rini Soemarno-red)  yang memang sangat low profile,” tulis dia, seperti dikutip Sabtu (29/12/2018).

Rhenald menuturkan, kendati dipaksa patuh hukum yang berlaku, Richard Adkerson dan timnya masih terbiasa dengan gaya pendahulunya Bob Moffet. Bob dikenal enteng menghadapi presiden-presiden terdahulu. Karena deal-nya dengan presiden, maka bisa ditebak akibatnya.

Ia menyebutkan, Rini memang sempat mendengar PT FI bisa diambil tanpa bayar pada 2021. Akan tetapi, sebagai mantan CEO Astra International, ia tahu persis semua itu omong kosong.

"Itu sama ibaratnya dijanjikan akan mendapatkan iPhone ber-casing emas. Alih-alih Iphone, yang tertinggal bisa jadi cuma casing-nya saja. Teknologinya pasti dibawa pulang asing. Belum lagi tuntutan-tuntutan hukumnya," tulis dia.

Ia menambahkan, kalau dibawa ke Mahkamah Agung RI, mungkin dimenangkan. Akan tetapi, masalahnya menurut Rhenald, kasus ini akan dibawa ke ranah arbitrase internasional. "Kemungkinan menangnya di bawah 40 persen," tulis dia.

Jadi satu-satunya jalan, menurut dia adalah negosiasi secara rasional agar jangan sampai mendapat casing emasnya saja. "Begitulah mengurus korporasi. Ini bukan game gagah-gahagan asal ngomong, melainkan sebuah game logis dan harus penuh perhitungan," ujar Rhenald.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Rhenald menuturkan, dirinya mengenal Rini Soemarno sejak 1999 ketika kembali ke PT Astra Internasional sebagai CEO. Rini ditugaskan mengatasi kerugian sebesar Rp 7,3 triliun yang membuat Astra nyaris bangkrut, ia pun melakukan restrukturisasi besar-besaran.

"Begitu prosesnya selesai, saya diminta memberi penjelasan kepada para investor strategisnya sekaligus meluncurkan logo barunya. Duduk di sisi kiri saya Kasospol TNI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan di sebelah kanan saya, Dr. Sri Mulyani. Saat itu Sri adalah pengamat ekonomi," ujar dia.

"Seingat saya investor gelisah karena harga saham Astra terus anjlok ke sekitar Rp 200. Tetapi Rini dan saya menenangkan. Juga SBY dan SMI. Ia meyakinkan bahwa memegang saham Astra harus long term," ia menambahkan.

Kelak rekomendasi itu tepat adanya. Pada 2010, harga saham Astra Internasional berhasil tembus Rp 40.550.  Lantas apa hubungannya dengan Freeport? 

"Begini, ternyata salah satu investor Astra itu, kebetulan juga salah satu pemegang saham penting dari Freeport McMoran, di samping Vanguard dan Icahn. Rini tidak menyia-nyiakan info itu. Apalagi para eksekutif perusahaan investasi itu sudah lama mengenal reputasinya. Ia segera mengontak mereka dan bertemu di London," ujar Rhenald.

Dari portofolionya sebesar USD 100 miliar, Rhenald menuturkan, mereka ternyata menguasai portofolio dalam bidang tambang yang cukup besar, sekitar USD 40 miliar. "Bisa dibayangkan, betapa takluknya para CEO perusahaan tambang pada investor besar ini," tulis Rhenald.

Singkat cerita, eksekutif perusahaan investasi itu pun bekerja dan berhasil menjelaskan kepada publik Indonesia telah berubah. Indonesia juga mendapatkan rating bagus dari Moody’s and Fitch Group.

"Di lain pihak, perusahaan investasi itu sudah lama mendalami siapa-siapa saja CEO yang menjadi pembuat kebijakan di Indonesia sehingga mereka punya harapan positif. Bahkan mereka ikut membeli Global Bond Indonesia. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan Adkerson saya tidak tahu persis. Saya mendengar Richard Adkerson menjadi lebih kooperatif," kata Rhenald.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sempat Terkejut Partisipasi Rio Tinto di Freeport Indonesia

Jalan terbuka. Saat Indonesia berminat membeli tambahan saham PT FI sebesar 42 persen (karena sebelumnya sudah menguasai 9 persen), Richard Adkerson membuka pembicaraan: "Kalian ingin ambil dari yang mana? Dari bagian FCX yang 51 persen?”

Semua anggota tim negosiasi terperangah. Di antaranya ada Kepala BKF, Prof. Suahasil Nazara. "Freeport yang kami tahu punya saham 91 persen, ternyata mengaku hanya menguasai 51 persen saja. Jadi kalau Indonesia mengambil 42 persen, mereka akan tinggal 10 persen,” ujarnya kepada saya.

"Adkerson baru membuka cerita. Ternyata, atas seizin Presiden yang dulu dan Menteri Pertambangan pada tahun 1996, mereka diizinkan mengandeng Rio Tinto dalam bentuk Participating Interest (PI) untuk menikmati 40 persen keuntungan Freeport sebelum dibagi kepada pihak Indonesia," ia menambahkan.

Freeport beralasan perlu menggandeng Rio Tinto untuk mendapatkan capex (Capital Expenditure) dan opex (Operating Expenditure) dalam mengoperasikan tambang itu.

Rombongan pun kembali ke Tanah Air, memeriksa keberadaan surat yang dimaksud Richard. Surprisingly, tak banyak yang mengetahui dokumen itu. Benar-benar tersembunyi. Setelah ditemukan, mereka harus putar otak lagi. Cari strategi lagi karena persoalan tambah rumit.

Akan tetapi, menurut teman-teman di Kementerian BUMN, terjadi “Mestakung” (semesta mendukung – meminjam istilah pakar Fisika, Yohanes Surya).

"Rini memutuskan untuk berangkat lagi menemui CEO Rio Tinto. Mestakungnya, ternyata Rio Tinto justru sedang berkeinginan menjual haknya. Tinto ingin beralih ke tambang lain," tulis Rhenald.

Artinya, ia bersedia mengalihkan haknya ke Indonesia. Hanya saja Indonesia membutuhkan saham, bukan PI. Indonesia ingin belajar mengelola, memimpin dan berbisnis yang lebih besar. Bukan cuma mencicipi buahnya saja.

Sempat mengganjal sebentar. Akan tetapi sikap investor sudah positif mendukung Indonesia. Freeport akhirnya mengalihkan hak Rio Tinto itu menjadi saham.

 

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.