Sukses

Rhenald Kasali: Divestasi Freeport dan Mengapa Kita Harus Beli 'Sahamnya'

Soal Divestasi Freeport dan mengapa kita harus beli "sahamnya" (jangan samakan dengan tanah atau buminya).

Liputan6.com, Jakarta Tulisan dari Professor Ekonomi Rhenald Kasali.

Bangun Freeport itu bukan seperti kasih orang ngontrak tanah di atas tanah kita seperti ucapan wakil rakyat yang mungkin kurang paham atau blm pernah jalan-jalan ke areal tambang di puncak gunung. Atau mungkin juga mereka belum pernah belajar corporate strategy dan corporate finance

Lucu juga logika pengamat-pengamat yang mungkin khilaf sampai begitu nafsunya mengatakan bangsanya payah--padahal negosiater kita telah membuat pusing petinggi-petinggi Freeport dengan deal yang katanya hebat. Namun, saya menduga mereka yang ngamuk-ngamuk itu hanya kurang kompetensi saja.

Maklum menganalisis Freeport ini kompleks. Ini gabungan makro-mikro, corporate finance dan fiscal policy, masalah hukum dan lingkungan hidup, serta antara kepentingan domestik dengan global value chain. Rumit sekali. 

"Jadi biasa saja. Kalau sudah cukup berilmu pasti mereka bisa lebih rendah hati dan tak main kasih cap goblok pada orang lain. Saya yakin mereka akan sampai ke sana. Namun, tentu harus banyak sabar dan belajar secara komprehensif," tulis Rhenald.

Ban Gu dalam Kitap Han mengatakan, “Informasi yang didapat dari mendengar penuturan orang sebanyak seratus kali, keakurasiannya kalah dengan yang diperoleh dari melihat sendiri meski cuma sekali.” 

Kalau kita pernah ke sana, maka kita jadi tahu bahwa ada perbedaan antara Bumi--dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang memang milik kita--dengan perusahaan tambang yang bernama Freeport dan bukan milik kita.

Kita tak pernah mendirikan Freeport. Juga tak pernah taruh uang di perusahaan itu sehingga kita punya saham. Jadi, kalau Freeport diusir atau berakhir pada 2021 yang kembali ke pangkuan kita ya cuma buminya saja, tanahnya.

"PTnya which is di dalammya ada asset-asset, mesin-mesin, skilled worker, jaringan bisnis, dan lain-lain, akan mereka angkat. Punya mereka kan? Mengangkatnya tidak sulit karena itu global company yang punya tambang di mancanegara," tulis Rhenald.

Maka, lucu yang bilang bahwa pada 2021 sudah otomatis semua jadi milik kita lalu ngapain harus dibayar? Mereka mungkin kurang baca bahwa Kontrak Karya (KK) pertambangan ala Freeport ini tidak sama dengan KK di sektor migas yg kalau sudah berakhir akan jd milik kita.

Justru kalau kita pernah melihat ke sana kita jadi mengerti beda antara PT dengan bumi itu. Karena yang kita mau kuasai bukan cuma buminya, tapi teknologinya, modal-modalnya, jaringan pemasarannya, dan cara menambang skala besar.

"Itulah maka kita minta mereka divestasi. Itulah makanya kita harus jadikan anak perusahaan BUMN kita yang sehat," tulis Rhenald.

Kalau kita pernah ke sana akan mengerti Freeport itu sebuah kesatuan global yang kuasai teknologi tingkat tinggi dengan Research & Development dalam bidang pertambangan yang luar biasa. Untuk eksploit tambangnya, butuh alat-alat berat yang tak pernah kita lihat di Pulau Jawa sekalipun.

Kendaraan untuk membawa pegawainya ke area tambang pun harus yg ber-CC tinggi, 3000-5000 CC. Juga harus antipeluru karena sering ditembak penembak liar atau pakai heli Puma yang harganya trilyunan rupiah.

Memang, tambang Freeport fase ke-dua yang kini 51,2 persen sudah sah milik Republik Indonesia ini ada di bawah tanah. Cadangannya cukup untuk usaha 40-50 tahun ke depan. Namun, untuk masuk ke trowongan itu kita harus naik ke puncak yang tinggi dulu dengan kendaraan ber-CC tinggi dan menanjak sekitar 45 derajat sekitar dua jam dari bawah serta perlu teknologi yang mahal. Apa ini akan ditinggal oleh Freeport kalau KK tahun 2021-nya berakhir?

Soal Global Bond

Apakah bisnis atau global bond yang dipakai untuk membiayai divestasi ini tak beresiko? Pasti. Lebih beresiko lagi kalau belinya pakai loan atau APBN karena rupiah akan langsung tertekan. 

Begitu pinjam pakai loan, maka tahun depan sudah langsung harus bayar interest besar-besaran dan sekaligus. Beda dengan bond yang bayar di belakang. Artinya kita bisa menabung, dapat bunga pula.

Ebitda

Freeport itu setahun besarnya 4B dollar AS, net profit-nya 2B dollar AS. Maka kalau kita beli sahamnya dalam skema divestasi ini senilai 4B dollar AS dalam empat tahun, global bond itu sudah bisa dibayar dari devidennya saja. 

"Lalu kita akan dapat PBB yg dulu tak pernah dibayar Freeport, dapat bea keluar, dapat smelter--yang dulu tak di-enforce pada era IB Sujana. Mereka serba kompromi dan menguntungkan Freeport yang memurnikan emasnya di Spanyol sehingga kita tak tahu kandungan aktualnya berapa emas, perak, dan cooper-nya. Kini Freeport lebih kooperatif karena mereka mendapat lawan yang seimbang. Indonesia harus percaya diri. Harus bangga dengan equal position ini," tulis Rhenald.

Namun perlu kita ingatkan juga, tahun depan produksi tambang ini akan drop dulu. Sebab, tambang fase pertama di puncak Grassberg akan ditutup. Maka, ada fase peralihan selama 1-2 tahun menuju tambang baru yang underground yang izinnya baru keluar. Izin baru ini pun bukan lagi KK, tapi surat ijin sesuai UU Minerba, yaitu IUP.

Itu sebabnya perlu bond dengan tennor yang panjang untuk mengurangi resiko. 

 

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini