Sukses

OJK Minta LBH Jakarta Serahkan Data 1.330 Aduan Korban Fintech

OJK meminta data lengkap masyarakat yang mengaku menjadi korban dari aplikasi pinjam meminjam uang atau fintech peer to peer lending.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta data lengkap masyarakat yang mengaku menjadi korban dari aplikasi pinjam meminjam uang atau fintech peer to peer lending yang melakukan pengaduan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Disebutkan hingga kini LBH Jakarta menerima setidaknya 1.330 pengaduan. Laporan tersebut pun beragam. Setidaknya ada 14 jenis pelanggaran yang ditemukan oleh LBH mulai dari pelanggaran hukum hingga pelanggaran HAM. Misalnya adalah cara penagihan yang dinilai tidak manusiawi.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengharapkan, kerja sama dari LBH dengan cara memberikan data yang lengkap.

"Harapan kami kawan-kawan asosiasi lawyernya bisa menjalin kerjasama dan memperoleh data yang lengkap. Prinsip kami dari OJK, mohon kami dibantu dengan kelengakapan data yang terbaik agar kami dapat menyelesaikan masalah secara baik," kata dia di Kantor Fintech Center OJK, Wisma Mulia, Jakarta, Jumat (14/12/2018).

Selain itu, dia juga mengimbau agar korban bisa melapor langsung kepada OJK. Hal itu guna meminimalisir oknum yang tidak bertanggung jawab dan berpura-pura menjadi korban.

"Kami ingin kami melihat ada korban sendiri yang mengatakan saya menajdi korban . Atau ada seorang wanita mengaku korban kan harus diperiksa benar tidak korban, bahwa ini contoh kasus jadi mohon tolong lah diperiksa dengan teliti agar kita bisa tindak lanjuti. Tapi bisa saja ingin menumpang dari kisruh seperti ini," ujar dia.

Selain itu, dia juga meminta agar semua laporan tersebut dilengkapi dengan bukti yang akurat. Satu laporan dengan bukti yang kuat disebut sudah cukup untuk menindak fintech yang dilaporkan, sehingga tidak perlu menunggu laporan menumpuk hingga ribuan seperti yang sudah terjadi sekarang ini.

"Sudah ada korban yang membawa alat bukti yang sah dan meyakinkan cukup satu saja, kami cabut, gak perlu nunggu sampai 1.300 (laporan)," ujar dia.

"Tolong juga kami dibantu ketika niat kita bersama ingin melindungi konsumen katanya ingin melidungi konsumen, tolong dibuktikan dong yang nyata bawakan ke kami alat bukti yang sah jangan kemudian membentuk opini, ini masyarakat jadi tidak sehat nanti,” dia menambahkan.

Dia menjelaskan, salah satu contoh bukti yang dimaksud adalah catatan transaksi pada aplikasi. Seperti ketika laporan adanya penagihan yang tidak manusiawi yang dilakukan pihak aplikator kepada konsumen.

"Ditagih dengan tidak manusia yah datang ke kami, bawain (bukti) pak memang tempo hari saya meminjam ke fintech ini tanggal segini dan memang sejak 14 hari kemudian ini masuk penagihan yang tidak manusiawi pada kami. Bawa alat bukti kayak begitu. Tapi kalau anda tiba-tiba datang, pak saya ditagih seperti ini, mana awal kamu minjamnya bertransaksi itu?," kata dia mencontohkan.

Dengan demikian dia berharap tidak ada orang yang mengaku-ngaku menjadi korban. Padahal, dia sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas peminjaman uang di aplikasi.

"Tidak mungkin Anda ditagih kalau tidak melakukan transaksi, pinjaman awal tunjukan kepada kami bahwa Anda sudah melakukan transaksidi tahap awal dan kita bisa melihat catatan digitalnya. Saya bisa memaklumi ini adalah teknlogi modern teknologi digital, memang semua kita perlu belajar menghadapi operasi tindak kejahatan," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kata LBH

Pengacara Publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, korban yang datang mengadu pada pihaknya justru akibat laporannya diabaikan oleh OJK.

"Perlu diketahui juga bahwa LBH Jakarta membuka pos pengaduan pinjaman online karena bukan korban tidak pernah mengadu ke OJK, pernah, tapi mereka merasa tidak ada penyelesaian yang mereka peroleh dari OJK," ujar dia.

Dia juga mengungkapkan, ada beberapa pertimbangan yang membuat pihaknya selama ini masih meenunda pemberian data kepada OJK. Sebab mereka ingin ada kepastian akan adanya perubahan mekanisme pinjam meminjam online agar kasus serupa tidak terulang lagi di kemudian hari.

"Bulan November kemarin 1.330 yang mengadu ke LBH Jakarta, kalau tidak ada mekanisme yang berubah, tahun depan dengan perkembangan fintech peer to peer lending yang katanya bakal dua kali lipat, maka jangan-jangan korbannya bisa dua kali lipat jumlahnya,” ujar dia.

Dia juga mengungkapkan, meski hari ini sudah dilakukan pertemuan tapi pihaknya masih belum bisa menyerahkan data-data tersebut kepada OJK.

"Meminta data pengaduan 1.330 pengadu yang sudah datang ke email LBH Jakarta Berdasarkan hal tersebut kami menegaskan kami belum bisa memberikan data tersebut. Alasannya, satu, pada form pengaduan peminjaman online terdapat data korban akan kami rahasiakan," ujar dia.

LBH menyatakan harus meminta izin dahulu kepada korban terkait pengaduan.

"Jadi kalau untuk memberikan data kami harus izin dulu dengan korbannya. Karena kalau tidak, maka sama seperti yang sudah dilakukan penyelenggara aplikasi pinjaman onlina yang menyebarkan data pribadi, kami pun bisa saja berpotensi melakukan penyebaran data pribadi, oleh karena itu kami akan izin dulu dengan korbannya,” tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Otoritas Jasa Keuangan atau OJK adalah lembaga yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di sektor keuangan.

    OJK

  • Fintech adalah singkatan dari Financial Technology.

    FinTech

  • LBH