Sukses

Utang PLN Capai Rp 543 Triliun, Ini Sumbernya

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat utang sampai September sebesar Rp 543 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat utang sampai September sebesar Rp 543 triliun. Dilihat dari 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PLN menjadi pemilik utang tertinggi ke empat di bawah BRI, BNI dan Mandiri. 

Direktur Keuangan PT PLN, Sarwono mengatakan, utang ini bersumber dari lokal. Di antaranya berasal dari obligasi, perbankan, sukuk dan sekuritas.

"Utang PLN banyak sumbernya. Dari lokal ada. Lokalnya, lokal obligasi ada. Utang bank ada. Yang lokal ada sukuk. Ada namanya sekuritisasi juga ada," ujar dia di Gedung PLN, Jakarta, Senin (3/12/2018).

Sarwono menjelaskan, meskipun utang PLN cukup besar, tapi bukan berarti tidak dapat melunasi. Hal ini terbukti dari perolehan peringkat utang PLN yang cukup baik. 

"Bisa (lunas). Kalau enggak dilunasin mereka enggak meng-sign utang. Ketika kita utang itu sudah dirating oleh lembaga rating agency kekuatan rating kita bagus sekali. Berapa rating kita? Invesment grade paling tinggi," tutur dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kementerian BUMN Pastikan Utang Pemerintah Masih Aman

Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per kuartal III 2018. Utang ini naik drastis jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2016 sebesar Rp 2.263 triliun.

Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro mengatakan, posisi utang ini masih dalam batas aman. Kesanggupan membayar diklaim aman baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek.

"Dapat disimpulkan relatif menunjukkan kesanggupan membayar utang jangka panjang dan pendek serta dapat dikatakan aman," ujar Aloysius saat memberi paparan di Gedung DPR, Jakarta, Senin 3 Desember 2018.

Utang BUMN dalam batas aman karena utang ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata utang industri di sektor yang sama jika dilihat dari DER. DER atau Debt to Equity Ratio yaitu rasio yang membandingkan jumlah utang terhadap ekuitas perusahaan.

"DER yang kita bandingkan terhadap 5 sektor industri. Data ini kami peroleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain perbandingan DER BUMN, sekaligus kami bandingkan dengan industrinya," jelas Aloysius.

Adapun BUMN tersebut digolongkan menjadi 5 sektor industri, yaitu transportasi, properti dan konstruksi, energi, telekomunikasi, serta perbankan. Pada sektor transportasi, rasio utang BUMN terhadap ekuitas adalah 1,59 persen, sementara pada industri lain 1,96 persen.

Kemudian, untuk sektor energi, BUMN sebesar 0,71 persen, pada industri sejenis 1,12 persen. Lalu untuk sektor BUMN telekomunikasi memiliki DER sebesar 0,77 persen, sementara industri sejenis memiliki DER sebesar 1,29 persen.

Meski demikian, ada dua DER BUMN yang lebih tinggi dibanding dengan sektor sejenis. Pertama, DER bank lebih tinggi yaitu 6 persen, sedangkan industri sejenis 5,66 persen. Kedua BUMN properti dan konstruksi 2,99 persen, sedangkan industri sejenis 1,03 persen.

"Berikutnya properti dan konstruksi mengindikasikan besaran gimana ekspansi infrastruktur," tandasnya.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.