Sukses

Ekonomi RI Diprediksi Tumbuh 4,9 Persen pada 2019, Ini Alasannya

Tantangan yang menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari prospek berlanjutnya normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR).

Liputan6.com, Jakarta Perekonomian Indonesia pada tahun depan diprediksi masih dihadapkan berbagai tantangan. Tantangan itu muncul akibat faktor eksternal dan kondisi pasar domestik yang kemudian berimbas pada pertumbuhan ekonomi global.

Ini diungkapkan Chief Economist CIMB Niaga, Andiran Panggabean yang mengatakan dari sisi global, tantangan yang menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari prospek berlanjutnya normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR). Kenaikan suku bunga AS sendiri diperkirakan masih akan terjadi sebanyak dua sampai tiga kali pada tahun depan.

"Kejutan masih akan terjadi di 2019. Geopolitik berubah. Kita sudah tau Isu Iran dengan Arab Saudi karena minyak. Harga minyak sekarang karena pertarungan geopolitik, itu semua menyebabkan geopolitik di Eropa berubah kemudaian ketegangan antara AS dan China melalui perang dagang masih akan berlanjut," kata Andiran dalam diskusi media di Graha Chimb Niaga, Jakarta, Rabu (28/11/2018).

Dengan dinamika yang terjadi pada tingkat global tersebut, Andiran memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah lima persen. Sebab volatilitas di pasar finansial sebagai konsekuensi kurangnya likuiditas akibat naiknya suku bunga, masih terus berlanjut.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi 4,9 persen atau sedikit lebiih rebdag dari rerata 2018 yang berada di lima persen," katanya.

Andrian melanjutkan, dinamika global tersebut secara otomatis juga akan menyebabkan berlanjutnya rotasi antar kelas aset yang kemudian berdampak pada berlanjutnya pergeseran keseimbangan pasar kurs global. Sehingga itu perlu direspon pemerintah lewat penyesuaian kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan. "Harapannya tentu agar daya tarik pasar keuangan domestik tetap terjaga," imbuh Andiran.

Di samping itu, Andiran memperikiran apabila suku bunga acuan FFR naik dua sampai tiga kali, sementara posisi defisit transaksi berjalan belum membaik secara signifikan, maka Bank Indonesia (BI) diprediksi akan menaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate ke arah 6,50-6,75 persen.

"Kenaikan suku bunga acuan tersebut akan menyebabkan berkuranagnya likuiditas di sistem keuangan domestik, naiknya long-term rates, sehingga volatilitas pasar finansial tahun depan akan lebih tinggi dari tahun ini," jelasnya.

Andrian menambahkan, faktor lain yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan adalah kebijakan fiskal pemerintah yang tidak ekspansif. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari rendahnya nasabah pajak atau tax ratio yang kemudian diaksentuasi oleh efek kebijakan suku bunga dalam menjaga nilai Rupiah.

"Di sisi lain tingkat inflasi sepanjang 2019 diperkirakan akan tetap rendah. Saya melihat baik headline inflation maupun core inflation tahun depan akan berada di bawah median target BI," pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bos BI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Melambat Jadi 3,7 Persen di 2019

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memprediksi ekonomi global sepanjang 2018 hanya tumbuh 3,73 persen. Sedangkan pada 2019, pertumbuhan ekonomi global melambat ke level 3,70 persen.

"Pertumbuhan ekonomi dunia yang pada tahun 2018 diperkirakan sekitar 3,73 persen kemungkinan akan melandai ke 3,70 persen pada 2019," ujar Perry dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia di JCC, Jakarta, Selasa (27/11).

Perry mengatakan, ekonomi Amerika Serikat (AS) yang tahun ini tumbuh tinggi, diperkirakan akan menurun pada 2019. Sementara, ekonomi Uni Eropa dan China akan tumbuh melandai dari tahun 2018 ke 2019.

Perkembangan tersebut, kata Perry, mendorong volume perdagangan dan harga komoditas dunia yang tetap rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mendorong ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.

"Karenanya menjadi tantangan bagi upaya kita untuk menjadikan ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, tekanan inflasi mulai tinggi di AS dan cenderung akan meningkat di Uni Eropa dan sejumlah negara lain," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.