Sukses

Santap Macan Langka, Miliarder Ini Diseret ke Pengadilan

Miliarder asal Thailand diseret ke pengadilan karena menyantap macan tutul hitam yang langka.

Liputan6.com, Bangkok - Taipan asal Thailand mulai disidang karena tertangkap memburu satwa langka. Pelaku bernama Premchai Karnasuta yang merupakan presiden dari Italian-Thai Development dan salah satu orang terkaya di negaranya.

Dilansir dari Bangkok Post, Premchai ditangkap pada malam hari di kawasan Suaka Margasatwa Thungyai Naresuan di provinsi Kanchanaburi. Wilayah itu merupakan situs Warisan Dunia UNESCO.

Sang taipan tertangkap bersama tiga orang pegawainya. Mereka kedapatan menyimpan beberapa hewan mati, termasuk kulit dan daging macan itu, padahal status hewan itu dilindungi.

Turut hadir sebagai saksi di pengadilan adalah Wichian Chinnawong, ia adalah kepala cagar alam Kanchanaburi, sang pemimpin regu yang menahan Premchai. Untuk kompensasi, Departemen Taman Nasional, Satwa Liar dan Konservasi Flora menuntut pelaku membayar 12,75 juta baht atau Rp 5,6 miliar (1 Baht = Rp 440).

Jaksa menuntut pelaku dengan enam tuntutan, di antaranya membawa senjata api di tempat umum tanpa izin, berkolusi untuk memburu satwa liar di daerah yang dilidungi, memburu satwa liar yang dilindungi tanpa izin, dan menyembunyikan karkas hewan liar yang diperoleh secara ilegal.

Diketahui, Premchai kedapatan memasak satwa tersebut di perkemahannya dan tertangkap basah di malam hari ketika dicari petugas yang khawatir mengenai keselamatan mereka. Premchai masih mengaku tidak bersalah dan berkata tidak menembak satwa yang dilindungi itu.

Aksi sang taipan pun sempat memancing protes warganet dan mahasiswa di Thailand. Para mahasiswa dari Universitas Chulalongkorn memakai topen macan tutul hitam sembari membawa lilin dalam protes mereka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Raksasa Teknologi Kompak Melindungi Satwa Liar

Sejumlah raksasa dunia teknologi menyatukan komitmen untuk melakukan kolaborasi dengan World Wildlife Fund (WWF) guna melindungi satwa liar yang diburu dan diselundupkan oleh pemburu liar.

Mengutip situs resmi WWF pada Maret lalu, sebuah persekutuan yang menamakan diri sebagai Global Coalition to End Wildlife Trafficking Online (Koalisi Global untuk Mengakhiri Penyelundupan Online Satwa Liar) telah bermitra dengan WWF, TRAFFIC, serta International Fund for Animal Welfare (Dana Internasional untuk Kesejahteraan Satwa, IFAW).

Tujuan mereka adalah mengurangi penyelundupan satwa liar sebanyak 80 persen di seluruh platform pada 2020. 

"Kami sadar bahwa penegak hukum sendiri tidak bisa menangani kenaikan global di perdagangan ilegal satwa liar yang terjadi secara online. Kami memandang bahwa perusahaan-perusahaan ini sangat ingin mencoba dan membantu menyelesaikan permasalah tersebut," kata Crawford Allan, direktur senior dari TRAFFIC, sebuah jaringan pengawasan perdagangan satwa liar yang terafiliasi dengan WWF, sebagaimana dilansir NPR.

Koalisi ini dinilai akan sangat membantu karena para penyelundup cukup gesit berpindah-pindah dari satu platform ke platform lain untuk menghindari pencekalan, sehingga diperlukan usaha bersama yang solid.

"Mengajak para raksasa industri adalah cara terbaik untuk secara sistematik menutup internet bagi para penyelundup satwa liar," lanjut Crawford seperti yang dikutip WWF.

"Kebijakan dan penegakan yang tidak konsisten di internet menghasilkan efek seperti gim memukul tikus (satu dipukul, lalu muncul di tempat lain), di mana iklan bisa saja dicabut dari satu situs lalu muncul di situs-situs lain," ucapnya.

Dengan timbulnya koalisi ini, Crawford berharap para penyelundup satwa liar tidak akan mendapatkan celah lagi.

"Perusahaan-perusahaan ini melihat permasalahannya dan bersatu untuk memastikan para penyelundup tidak bisa kabur-kaburan di internet," lanjutnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.