Sukses

Penyebab Industri Kayu Tak Berkembang, Tarif Listrik Salah Satunya

Industri kayu lapis harus menambah lebih dari 50 persen ekstra modal kerja akibat harus menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), Martias membeberkan beberapa tantangan mengenai sulitnya sektor industri kayu lapis untuk berkembang. Menurutnya, dibubarkannya tata niaga ekspor kayu dan dibukanya keran ekspor kayu bulat menjadi salah satu penyebabnya.

"Dibukanya ekspor kayu bulat ini justru memberi perluang bagi industri sejenis di negara lain, untuk hidup kembali, Kemudian pada 2001 keran ekspor ditutup kembali, tetapi karena sudah terlanjur berkembang menjadi sulit dikendalikan, akibatnya ekspor kayu lapis menurun," kata Martias, dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-VIII APKINDO, di Hotel Four Seasons, Jakarta, Senin (26/11/2018).

Martias mengatakan tingginya biaaya produksi akibat kenaikan harga kayu bulat, Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) dan Upah Minimum Regional (UMR) serta bahan-bahan pendukung lainnya, juga menjadi penyebab produk kayu lapis Indonesia kehilangan daya saing. Kemudian persoalan lainnya adalah meisn produksi yang kebanyakan sudah tua sehingga tidak efisien untuk digunakan.

Ditambah lagi kata dia, industri kayu lapis harus menambah lebih dari 50 persen ekstra modal kerja akibat harus menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan memakan waktu lama hingga mencapai dua tahun.

"PPN kayu bulat seharusnya dihapuskan, karena kayu bulat belum mengalami penambahan nilai. Sebelum adanya kebijakan penghapusan PPN, maka restitusi PPN harus dipercepat selambat-lambatnya tiga bulan," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hutan Tanaman Industri

Di sisi lain, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) khususnya pada kayu pertukangan belum cukup berkembang. Sebab HTI sendiri tidak mendapat pendanaan pinjaman dari perbankan. Oleh karenanya, dia meminta agar prasyarat dalam meminjamkan kredit pada perbankan, dipermudah.

Sebelumnya, Martias mengakui kondisi industri kayu lapis belum bisa kembali ke masa keemasannya. Sebab pada 2018 saja, ekspor kayu lapis diperkirakan tinggal sekitar tiga juta meter kubik dengan nilai USD 1,9 miliar.

"Jika dibandingkan dengan masa keemasannya maka turun 45 persen dari sisi nilai dan turun 63 persen dari sisi volume," kata Martias.

Martias menyampaikan industri kayu lapis menjadi primadona ekspor non migas pada 1987-1997 dengan kontribusi devisa rata-rata mencapai USD3,4 miliar per tahun dengan volume ekspor rata-rata sebesar 8,4 juta meter kubik per tahun. "Oleh karena itu, melalui Munas VIII APKINDO, dapat dijadikan momentum untuk mengembalikan masa kejayaan industri kayu lapis di Indonesia," pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.