Sukses

Negara Ini Kaget Punya Utang Menumpuk ke China

Negara ini pusing dan bingung akibat utang China yang menumpuk.

Liputan6.com, Malé - Maladewa tampak baru sadar bahwa membangun infrastruktur dengan meminjam utang ke China ternyata tidak semudah itu. Negara kepulauan ini pun kaget karena besarnya utang yang didapat.

Rasa kaget itu diungkapkan oleh mantan presiden Mohamed Nasheed yang saat ini menjabat sebagai penasihat presiden yang baru. Salah satu pendiri Partai Demokrasi Maladewa itu kaget melihat besarnya serta rumitnya utang dari China selama 5 tahun terakhir. Belum lagi ada utang baru yang mencapai USD 3,2 miliar atau setara Rp 46,3 triliun (USD 1 = Rp 14.492).

"Itu (utangnya) berupa invoice. Angkanya USD 3.2 miliar. Itu membuat shock," ucap Nasheed seperti dikutip Reuters. Utang sebesar itu setara USD 8.000 (Rp 115 juta) untuk tiap warga Maladewa.

Dijelaskan, utang itu diberikan Duta Besar Zhang Lizhong pada 6 Oktober lalu ketika partainya menang pemilu. Uang itu dipakai untuk berbagai macam pembangunan, dan sempat menjadi pro dan kontra karena kekhawatiran akan besarnya utang.

Pihak China sendiri membantah ada utang sebesar itu. Pernyataan sang penasihat presiden dibilang berlebihan oleh Dubes Zhang yang menjelaskan bahwa utang hanya USD 1,5 miliar (Rp 21,7 triliun). Uang dipakai untuk proyek jembatan laut sebesar USD 600 juta dan BUMN sebesar USD 900 juta. 

Nasheed pun sampai pangling dalam mengetahui seberapa besar sebetulnya utang Maladewa, BUMN negaranya pun juga terbelit utang. "Kami bingung dalam memahami seberapa besar sebenarnya utang kami ke China," ujarnya.

Seorang pejabat di tim transisi Presiden Maladewa Ibrahim Mohamed Sholih mengaku sedang ada upaya untuk meneliti tiap surat utang dari China, karena tampaknya jumlah begitu banyak.

"Kami berusaha meluruskan ini. Kelihatannya banyak surat utang dikeluarkan, berlembar-lembar kertas. Kami mencoba menemukan ada berapa banyak dan untuk siapa (utangnya)," jelas pejabat yang namanya enggan disebut karena isu ini terbilang sensitif.

Maladewa bukan satu-satunya negara yang terbuai "diplomasi utang" China. Pada September lalu, Presiden Xi Jinping menjanjikan pinjaman sebanyak USD 60 miliar (Rp 869 triliun) ke negara-negara Afrika demi membantu perkembangan benua tersebut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perjanjian Berat hingga Pulau Diambil Alih China

 Mantan presiden Maladewa, Mohamed Nasheed, mengatakan bahwa pemerintahan baru negara itu tengah mempertimbangkan untuk menarik diri dari perjanjian perdagangan bebas dengan China.

"Perjanjian perdagangan bebas sangat berat ... jumlahnya tidak cocok, tidak adil bagi kami," kata Nasheed.

Menurutnya, parlemen Maladewa tidak akan menyetujui undang-undang yang diperlukan agar kesepakatan perdagangan diberlakukan. Dikutip dari BBC, komentar itu muncul beberapa hari setelah sekutu Nasheed, Ibrahim Mohamed Solih menjadi presiden baru Maladewa.

Belum ada tanggapan langsung dari Beijing terhadap komentar tersebut, tetapi sepekan lalu, kedutaan China di Male --ibukota Maladewa-- menolak pernyataan Nasheed, di mana dia mengatakan negaranya berisiko jatuh ke dalam perangkap utang dengan Negeri Tirai Bambu.

Sementara itu, Nasheed juga mengatakan bahwa China telah mengambil alih sejumlah pulau di Maladewa untuk masa pengelolaan antara 50 hingga 100 tahun.

Presiden sebelumnya, Abdulla Yameen, lebih memilih hubungan dekat dengan China dan menandatangani perjanjian perdagangan bebas selama kunjungan ke Beijing Desember lalu.

Banyak perusahaan China telah menginvestasikan ratusan juta dolar dalam berbagai proyek infrastruktur di negara kepulauan atol di Samudera Hindia itu, yang dikenal sebagai lokasi berbagai resor mewah.

Tapi komentar Nasheed dilihat sebagai tanda terbaru dari serangan balik terhadap China di kepulauan di selatan India itu.

Maladewa salah adalah salah satu dari sejumlah negara kecil, di mana China telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun jalan raya dan pelabuhan sebagai bagian dari inisiatif One Belt One Road, yang bertujuan mempromosikan perdagangan antara Asia dan berbagai belahan dunia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.