Sukses

Data Inflasi AS Tekan Nilai Tukar Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.862 per dolar AS hingga 14.935 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Selasa pekan ini. Sentimen eksternal menjadi pendorong pelemahan rupiah. 

Mengutip Bloomberg, Selasa (13/11/2018), rupiah dibuka di angka 14.862 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.820 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.862 per dolar AS hingga 14.935 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,86 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.895 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.747 per dolar AS.

Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih. mengatakan bahwa pada pagi ini mata uang kuat Asia seperti dolar Hong Kong dan dolar Singapura bergerak melemah terhadap dolar AS, itu menjadi sentimen pelemahan rupiah.

"Sebagian besar mata uang di kawasan Asia termasuk rupiah melemah terhadap dolar AS," katanya.

Ia memproyeksikan rupiah akan bergerak menuju kisaran 14.850 per dolar AS hingga 14.950 per dolar AS, namun pergerakan rupiah tetap dalam penjagaan Bank Indonesia.

Ia menambahkan pelemahan rupiah kemungkinan juga karena respon negatif pelaku pasar uang terhadap neraca transaksi berjalan pada kuartal ketiga 2018 yang defisitnya naik menjadi 3,37 persen dari produk domestik bruto(PDB).

Bank Indonesia (BI) yang mulai melakukan lelang instrumen derifatif, yakni domestic non delivery forward (DNDF) diharapkan dapat menjaga fluktuasi mata uang domestik.

"Transaksi DNDF ini merupakan instrumen derivatif inovasi Bank Indonesia untuk melakukan pendalaman pasar valas domestik untuk meningkatkan likuiditas," katanya.

Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan data inflasi AS yang diproyeksikan menguat masih menjadi salah satu faktor yang mendorong dolar AS kembali menguat.

"Meningkatnya inflasi di AS maka peluang bagi the Fed untuk menaikan suku bunganya cukup terbuka," katanya seperti dituliskan Antara.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rupiah Diprediksi Melemah ke 15.100 per Dolar AS di Akhir 2018

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan masih akan kembali tersungkur hingga akhir tahun. Sentimen internal hingga eksternal berpotensi menggiring rupiah pada posisi 15.100 per dolar AS.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, rupiah akan menemukan titik barunya sampai akhir tahun ini. Rupiah diprediksi akan keluar dari asumsi pemerintah sebelumnya yakni dari posisi 15.000 per dolar AS menjadi 15.100 per dolar AS.

"Akhir tahun berpotensi menemukan titik baru di level 14.900-15.100. Masih sangat fluktuatif mencermati beberapa perkembangan global dan domestik," ucapnya kepada Liputan6.com. 

Sementara itu, dari dalam negeri, lanjut dia, defisit transaksi berjalan atau current account deficit(CAD) RI yang menembus 3,37 persen pada kuartal III dinilai melebihi dari ekspektasi pasar, sehingga mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelebaran CAD itu membuat permintaan dolar sampai akhir tahun terus meningkat, khususnya untuk membiayai impor di industri minyak dan gas (migas).

"Kondisi ekspor pun belum mampu tumbuh optimal terkendala oleh proteksi dagang CPO yang dilakukan India. Harga komoditas baik CPO maupun karet sampai akhir 2018 akan slowdown," jelas Bhima.

Meski demikian, menurutnya, efek pelebaran CAD tak hanya menimpa Indonesia semata. Beberapa negara emerging market lainnya seperti Argentina dan Turki turut merasakan dampak buruk pelebaran CAD di negara masing-masing.

"Jadi artinya memang secara umum kinerja fundamental ekonomi beberapa negara berkembang sedang kurang sehat. Ini diperkuat oleh laporan Moodys Investor Services pada 8 November lalu bahwa Turki dan Argentina akan menghadapi kontraksi yang dalam," ungkapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.