Sukses

Kendalikan Defisit Transaksi Berjalan, Pemerintah Harus Tekan Laju Impor

Beberapa komponen pada proyek pembangunan infrastruktur yang berasal dari impor harus dikurangi.

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) merilis defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal II-2018 sebesar USD 8 miliar. Jumlah tersebut meningkat menjadi 3 persen dari kuartal I-2018 yang tercatat hanya sebesar USD 5,7 miliar atau 2,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Ekonom Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko menyatakan untuk mengendalikan transaksi berjalan, pemerintah perlu menekan laju impor. Bahkan, beberapa komponen pada proyek pembangunan infrastruktur yang berasal dari impor harus dikurangi.

"Salah satunya menunda beberapa proyek yang konten impornya tinggi. Kalau itu dilakukan maka impor akan menurun signifikan sehingga CAD akan membaik," kata dia di Jakarta, Rabu (17/10/2018).

Dia juga menyarankan, beberapa proyek pembangunan infrastruktur di daerah yang tidak memiliki dampak nilai ekonomi sebaiknya dihentikan terlebih dahulu. Sebab, hal itu akan semakin memperbesar nilai impor dan memperbesar CAD.

"Menurut saya mesti dipilih daerah-daerah di sektor yang impikasinya pada bisnis tidak terlalu banyak. Misalnya kita harus realistis proyek infrastruktur di Papua, di Kalimantan, multiplier efek-nya belum sangat besar. Tetapi pelabuhan di Jawa sebagiannya itu mesti yang mendorong ekspor tidak bisa ditunda lagi (pembangunannya)," dia melanjutkan.

Meski demikian, apabila beberapa proyek infrastruktur diputuskan terhenti sementara maka hal yang menjadi pertimbangan adalah ke pertumbuhan ekonomi.

"CAD kita perbaiki tetapi dengan kesadaran penuh pertumbuhan kita enggak bisa maksimum 5,2 persen ke atas enggak bisa. Itu yang harus kita terima," pungkas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bikin Rupiah Melemah, Defisit Transaksi Berjalan Jadi PR Besar RI

Sejak terkena krisis 1997-1998, Indonesia sudah banyak melakukan reformasi keuangan baik fiskal maupun perbankan. Akan tetapi, masih ada satu hal sulit diatasi hingga sekarang yaitu mengenai penanganan defisit transaksi berjalan. Padahal defisit transaksi berjalan membuat nilai tukar rupiah rentan terhadap pelemahan.

"Ada hal yang masih perlu pekerjaan rumah dari kita yaitu permasalahan CAD, ini permasalahan yang belum bisa kita selesaikan," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara saat ditemui di Gedung BI, Jakarta Pusat, Kamis (4/10/2018).

Untuk menambal defisit valas salah satunya yaitu dengan cara menyuntikan dana asing atau lebih dikenal dengan istilah Penanaman Modal Asing (PMA) serta pinjaman atau utang luar negeri dan portfolio yang masuk.

Mirza mengungkapkan, transaksi berjalan Indonesia pernah mengalami surplus disokong oleh ekspor komoditas seperti sawit, batu bara dan timah.

"Nah pada periode 2000-2010, kita sempat mengalami current account surplus. Pada waktu itu kita tidak mempunyai problem CA defisit, tapi surplus, yaitu ekspor impor barangnya surplus karena harga kelapa sawit tinggi sekali, karena harga batubara tinggi sekali, karena harga timah tinggi sekali. Jadi karena semua harga komiditas tinggi sekali itu gara-gara China sebagai pembeli terbesar," ujarnya.

Namun, sejak 2011 hingga sekarang transaksi berjalan selalu mengalami defisit. "Tapi, sekarang sejak 2011 kita kembali mengalami promblem CAD, seperti problem yang kita alami dulu sebelum tahun 1998. Itulah yang membuat suplai valas di Indonesia selalu kurang. Selama ini, suplai valas itu ditutup dari PMA yang masuk, maka penting sekali kita harus PMA friendly," jelasnya.

Adapun PMA yang harus didorong adalah sektor yang berorientasi ekspor sehingga stok valas di dalam negeri selalu stabil. Kondisi tersebut tentunya akan membuat nilai tukar Rupiah selalu terjaga di pasar.

"PMA yang orientasinya harus ekspor, supaya bisa menutup defisit ekspor impor. Kita harus PMA friendly, tapi PMA yang terutama PMA orientasi ekspor," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini