Sukses

Tangani Bencana, JK Ingin RI Tak Bergantung pada Internasional

Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp 3,1 triliun.

Liputan6.com, Nusa Dua - Bencana gempa dan tsunami melanda beberapa wilayah di Indonesia baru-baru ini. Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana.
 
Data Bank Dunia menunjukkan Indonesia termasuk 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa akibat bencana. 
 
Kerugian yang diderita atas bencana tidak sedikit. Sementara itu, kemampuan pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk bencana dengan dampak yang ditimbulkannya, sangat terbatas. 
 
Dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 yang berlangsung di Bali kali ini, Indonesia mengajak para peserta yang hadir dari berbagai negara untuk saling berbagi dan menemukan solusi yang tepat, khususnya dalam hal pembiayaan dan asuransi risiko bencana.   
 
 
“Ini menjadi momen yang tepat karena kita baru saja mengalami bencana, dan mencari solusi yang tepat apabila terjadi bencana. Bagaimana upaya kita mengatasi bencana dengan ketahanan fiskal yang terjaga, dan tidak hanya tergantung pada kerja sama internasional,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menyampaikan keynote speech pada seminar yang bertemakan “Disaster Risk Finance and Insurance” di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018).
 
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika penanganan bencana di Indonesia masih sangat tergantung pada APBN dan APBD. Pemerintah bahkan harus merealokasi anggaran untuk penanganan bencana. 
 
“Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal,” kata Sri Mulyani.     
 
Fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan rekonstruksi.
 
“Namun, kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi,” kata Sri Mulyani.
 
Dia juga menyatakan Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana. 
 
“Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah,” ungkap Sri Mulyani. 
 
Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp 3,1 triliun.
 
Sementara itu, bencana alam besar seperti gempa dan tsunami di Aceh pada 2014 mencapai Rp 51,4 triliun. Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam. 
 
Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) mengenai pembiayaan dan asuransi risiko bencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
 
 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

OJK Beri Keringanan untuk Debitur Korban Gempa Sulteng

Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan kebijakan pemberian perlakuan khusus terhadap kredit dan pembiayaan syariah perbankan, untuk debitur dan proyek yang berada di lokasi bencana alam di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kebijakan itu diputuskan dalam Rapat Dewan Komisionoer OJK pada Selasa, 9 Oktober 2018 di Bali. Hal ini bertujuan untuk membantu pemulihan usaha debitur dan perbankan, serta kondisi perekonomian wilayah yang terkena dampak bencana alam.

Perlakuan khusus diberikan untuk penilaian kualitas kredit/pembiayaan syariah, restrukturisasi dan pemberian kredit/pembiayaan syariah baru di Palu, kabupaten Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah. Demikian mengutip dari laman OJK, Rabu (10/10/2018).

Berdasarkan data sementara yang diterima OJK, terdapat 13.233 debitur di enam cabang bank umum konvensional yang terdampak bencana alam dengan total baki debet kredit sebesar Rp 1,6 triliun.

Sementara data dari BPD Sulteng, cabang bank umum, BPR dan perusahaan IKNB masih dalam proses pengumpulan lebih lanjut.

Perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan syariah Bank mengacu pada POJK 45/POJK.03/2017 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank Bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam dalam Keputusan Dewan Komisioner dan akan berlaku selama tiga tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan, meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Penilaian Kualitas Kredit

a. Penetapan Kualitas Kredit dengan plafon maksimal Rp5 miliar hanya didasarkan atas ketepatan membayar pokok dan/atau bunga. Sementara itu bagi kredit dengan plafon di atas Rp 5 miliar, penetapan kualitas kredit tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku, yaitu PBI No 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

b. Penetapan Kualitas Kredit bagi BPR didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.

2. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi

a. Kualitas Kredit bagi Bank Umum maupun BPR yang direstrukturisasi akibat bencana alam ditetapkan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan jangka waktu Keputusan Dewan Komisioner.

b. Restrukturisasi Kredit tersebut di atas dapat dilakukan terhadap Kredit yang disalurkan baik sebelum maupun sesudah terjadinya bencana.

3. Pemberian Kredit Baru terhadap Debitur yang Terkena Dampak

a. Bank dapat memberikan Kredit baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam.

b. Penetapan Kualitas Kredit baru tersebut di atas dilakukan secara terpisah dengan Kualitas Kredit yang telah ada sebelumnya.

4. Pemberlakuan untuk Bank Syariah

Perlakuan khusus terhadap daerah yang terkena bencana alam berlaku juga bagi penyediaan dana berdasarkan prinsip syariah yang mencakup pembiayaan (mudharabah dan musyarakah), piutang (murabahah, salam, istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain.

Selain kebijakan untuk perbankan, untuk perusahaan-perusahan di Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) seperti Perusahaan Pembiayaan yang terkena dampak OJK mendorong untuk melakukan pendataan debitur yang terdampak bencana dan mengalami kesulitan pembayaran angsuran.

Untuk Perusahaan Pembiayaan dapat memberikan relaksasi kepada debitur, antara lain, berupa:

1.    Rescheduling pembayaran angsuran;

2.    Penyesuaian biaya administratif; dan atau

3.    Penyesuaian denda akibat keterlambatan pembayaran angsuran.

Selanjutnya, Perusahaan Pembiayaan diminta melaporkan secara berkala kepada OJK mengenai progres penanganan restrukturisasi debitur yang tertimpa musibah.

Bagi Perusahaan Perasuransian, OJK mendorong pendataan para tertanggung/pemegang polis asuransi yang mengalami kerugian akibat bencana. Sehingga, dapat segera dilakukan proses penanganan klaim secara profesional dan, jika diperlukan, melakukan jemput bola untuk meringankan beban pemegang polis yang tertimpa musibah.

OJK akan terus melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap perkembangan kondisi daerah yang terdampak bencana dan akan mengambil langkah-langkah lanjutan yang diperlukan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini