Sukses

Kementerian ESDM Belum Terima Keluhan soal Penerapan Biodiesel 20 Persen

Penerapan biodiesel 20 persen dimatangkan pada 2016 usai terbentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan hingga kini belum menerima keluhan terkait penerapan aturan Biodiesel 20 persen (B20) yang mulai dilaksanakan sejak 1 September 2018.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM,Rida Mulyana, mengatakan B20 bukan merupakan program tiba-tiba. Program ini mulai diidekan sejak 2006. Adapun kebijakan ini baru diintensifkan pada 2016 setelah dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

"Program ini pas 2006 masih bergantung APBN, karena biodiesel-nya mahal jadi dapat tambahan subsidi APBN. Makanya jalannya tidak begitu mulus. Dengan adanya BPDP, jadi ada kerangka pembiayaan dari sana," ungkap dia saat berjumpa dengan wartawan di Jakarta, Rabu (26/9/2018).

Dalam mengelola dana B20, ia melanjutkan, pemerintah mengandalkan nilai jual minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang kini di pasaran global rendah.

"Uangnya berdasarkan hasil iuran ekspor sawit. Uangnya terus muter untuk digunakan buat sawit juga. Jadi ini bukan program yang ujug-ujug (tiba-tiba)," sambungnya.

Dia pun mengaku, selama ini Kementerian ESDM belum mendapat keluhan terhadap regulasi Biodiesel 20 persen yang telah diimplementasikan sejak awal September ini.

"Alhamdulillah setelah 2,5 tahun, kami sebagai lead sector belum menerima keluhan. Saya belum dengar ada kejadian, truk mogok karena B20," ujar dia.

"Pada saat pak Jokowi menyetujui ini, dia bilang manfaat biodiesel bisa untuk multisektor. Jadi ini harus dipaksakan, dan semua sektor terkait harus mendukung. Beberapa pihak seperti Gaikindo pada saat itu langsung mendukung," tambah dia.

Selain itu, Rida menyampaikan, implementasi aturan ini secara momentum sangat pas, lantaran turut ditopang oleh berbagai kondisi yang sedang tidak memungkinkan seperti kenaikan harga minyak dan pelemahan rupiah.

"1 September kenapa ada? Karena momentumnya pas. Ini didorong neraca perdagangan negatif? Saya bisa bilang yes. Karena impor subsektor migas juga pengaruhi neraca perdagangan yang defisit," ujar dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Diminta Konsisten Terapkan Kebijakan B20

Sebelumnya, kebijakan pemerintah terkait pencampuran minyak sawit atau CPO ke Solar sebesar 20 persen (B20) diharapkan tidak hanya demi kepentingan industri sawit dalam negeri. Kebijakan ini juga harus memperhatikan soal ketahanan energi nasional yang juga menjadi masalah serius ke depan.

Pengamat Energi Marwan Batubara mengatakan, dasar pemerintah menerapkan kebijakan ini memang dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun dia khawatir jika kebijakan tersebut sebenarnya hanya demi menyelamatkan industri CPO dan mengabaikan masalah ketahanan energi nasional.

"Soal B20, hingga akhir tahun ada 2,5 juta kiloliter (kl) biodisel yang dicampur dengan Solar, itu bisa hemat devisa USD 1 miliar. Tahun depan 5-6 juta kl dan hemat USD 3 miliar-USD 3,5 miliar. Ini memang menolong, tapi harus konsisten. Jangan sampai ini hanya untuk menolong industri CPO," ujar dia dalam diskusi Menyoalkan Kebijakan Energi Nasional di Jakarta, Rabu 26 September 2018.

Saat ini industri CPO memang tengah menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari harga jual yang turun hingga kampanye negatif yang dilakukan oleh sejumlah negara.

‎"Ini di 2015-2016 pemerintah juga gencar soal CPO. Karena harga CPO saat itu sedang turun. Waktu itu turun ke USD 400 per ton, dari biasanya USD 700. Sekarang permintaan turun, masalah boikot oleh Eropa, kemudian India terapkan pajak masuk, sehingga permintaan kita turun," ungkap dia.

Oleh sebab itu, lanjut dia, penerapan kebijakan ini harus dilakukan secara konsisten. Jangan kebijakan ini diberlakukan ketika harga CPO turun, sedangkan ketika harga tinggi, kebijakan tersebut dilupakan dan menjadi masalah baru bagi ketahanan energi nasional.

"Di industri ini, 30 persen pemilik industri sawit dari asing seperti Singapura, kemudian para pengusaha besar. Sedangkan petani hanya 3 persen. Jadi jangan hanya untuk industri sawit semata dan ujungnya ketahanan energi jadi terganggu," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.