Sukses

Biar Kasus Karen Agustiawan Tak Terulang, Ini Saran Kementerian ESDM

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak mau ikut campur masalah yang tengah dihadapi eks direktur utama PT Pertamina, Karen Agustiawan.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak mau ikut campur masalah yang tengah dihadapi eks direktur utama PT Pertamina, Karen Agustiawan. Karen sendiri saat ini telah ditahan Kejaksaan Agung.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto mengatakan, keputusan tersebut bukan urusan instansinya, karena sudah menjadi urusan hukum.

"Itu bukan urusan saya, itu masalah Hukum," kata Djoko, di Jakarta, Selasa (25/9/2018).

Menghindari hal serupa terja lagi, Djoko mengingatkan semua pihak untuk hati-hati dalam berinvestasi, terutama keabsahan dokumen investasi. "Ke depan kalau mau investasi, harus soon, due dilligence-nya diperiksa," tuturnya.

Dari sisi teknisnya, invesasi harus memperhatikan cadangan yang ada dan lama produksi lapangan. Hal ini untuk mengukur keekonomian lapangan migas sebelum investasi ditanamkan.

"Kita harus ngerti bahwa maksimum dari cadangan itu yang bisa kita produksi kita kira-kira harus punya keyakinan itu 40 persen. Satu cadangan dan sertifikat, terus berapa lama produksi dan terus produksi terakhir berapa, lihat tekanannya berapa," tuturnya.

Namun, Djoko tidak mau menilai penyebab Karen ditetapkan tersangka, karena belum melewati proses tersebut. "Wah saya enggak tau, kok saya menyalahkan, saya enggak tau loh," tandasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kasus Karen

Kasus itu bermula saat Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd untuk menggarap Blok BMG.

Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase - BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai USD 31 juta.

Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar USD 26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga 812 barrel per hari.

Namun ternyata, Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.

Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.

Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligenceatau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris.

Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar USD 31 juta dan USD 26 juta atau setara Rp 568 miliar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.