Sukses

Pengusaha Diminta Pahami Aturan Penyederhanaan Cukai Rokok

Kebijakan simplifikasi akan menutup celah pabrikan rokok membayar tarif cukai lebih rendah dari ketentuan golongannya.

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai rokok disebutkan untuk menciptakan kepatuhan di industri hasil tembakau.  Kebijakan tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146 Tahun 2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

"Semangat dari Kementerian Keuangan adalah meningkatkan kepatuhan. Karena itu, kalau patuh tidak perlu gaduh," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara, di Jakarta.

Dia berharap, kebijakan simplifikasi yang dikeluarkan pemerintah ini mampu dipahami oleh para pelaku industri. "Semoga mindset ini didapatkan. Kepatuhan itu kami hargai, sangat dihargai sekali. Karena itu bea cukai mendesain perusahaan patuh," ujar dia belum lama ini.

Suahasil sebelumnya juga menjelaskan bahwa kebijakan simplifikasi akan menutup celah pabrikan rokok membayar tarif cukai lebih rendah dari ketentuan golongannya. Dengan begitu, kepatuhan di industri rokok akan membaik dan kebocoran pada keuangan negara berkurang.

Untuk tahun ini, layer tarif cukai rokok berjumlah 10. Dari 2019 sampai 2021 mendatang, tarif cukai rokok disederhanakan setiap tahunnya menjadi, 8, 6, dan 5 layer. Adapun pada 2017 lalu, tarif cukai rokok mencapai 12 layer.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Kementerian Keuangan, Nugroho Wahyu, menambahkan, kebijakan simplifikasi ini juga untuk menciptakan keadilan di industri rokok.

"Semakin detail karena pengusaha dari gurem sampai raksasa harus ada keadilan. Semakin banyak itu jadi rumit, makanya butuh penyederhanaan-penyederhanaan," kata Nugroho.

 

Reporter: Idris Rusadi Putra

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Peredaran Rokok Ilegal Menurun pada 2018

Peredaran rokok illegal menurun pada 2018. Angka nilai pelanggarannya sebesar Rp 909,45 miliar-Rp 980 miliar pada saat ini.

Hal itu berdasarkan survei penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (FEB UGM) pada 2018.

Peneliti P2EB FEB UGM, Arti Adji mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan di 426 kota kabupaten di Indonesia, terdapat penurunan presentase rokok ilegal pada 2018 yaitu menjadi 7,04 persen dibanding 2016 sebesar 12,14 persen.

‎"Dari 2010-2016 ini tren meningkat. 2014  7,04 persen, 2016 12,14 persen. Di 2018 itu angkanya menurun,"‎ kata Arti, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (20/9/2018).

Hasil perhitungan menunjukan persentase pelanggaran yang dilakukan industri rokok secara nasional adalah 7,04 persen artinya dari 100 bungkus rokok yang dijumpai di warung-warung 7,04 bukus rokok yang melangar.

Arti menuturkan, penurunan peredaran rokok ilegal merupakan dampak dari peningkatan tindakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dalam menindak peredaran rokok ilegal.

"Dikontrol oleh Ditjen Bea dan Cukai. Mungkin 2018 7 persen  trend penurunan tinggi Ditjen Bea Cukai lebih meningkat dalam melakukan tindakan," tutur dia.

Arti mengungkapkan, berdasarkan survei dengan berbagai pendekatan, pelanggaran rokok ilegal mencapai ‎Rp 909 miliar-Rp 980 miliar. Hal tersebut berdasarkan perhitungan setiap batang dalam satu bungkus rokok yang melanggar. Dalam survei ini, terdapat 16 ribu lebih bungkus sampel rokok ilegal.

"Setiap bungkus rokok yang melanggar setiap Batang rokok kami hitung. Nilai pelangaran ini kami hitung setiap batang besar tarif cukai. ‎ Nilai rupiah pelanggaran kami hitung total pelanggaran di setiap desa, berdasarkan sampel warung," kata dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini