Sukses

Sentimen Perang Dagang Masih Tekan Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.891 per dolar AS hingga 14.915 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Rabu ini. Sentimen perang dagang masih menjadi penekan mata uang di negara berkembang termasuk rupiah. 

Mengutip Bloomberg, Rabu (19/9/2018), rupiah dibuka di angka 14.915 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.855 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.891 per dolar AS hingga 14.915 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,86 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) rupiah dipatok di angka 14.896 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.908 per dolar AS.

Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, mengatakan bahwa dolar AS kembali menguat setelah imbal hasil obligasi tenor 10 tahun Amerika Serikat menembus ke tingkat tiga persen.

"Hal itu menambah katalis positif untuk dolar AS di tengah eskalasi perang dagang Amerika Serikat Tiongkok," katanya.

Ia menambahkan sentimen mengenai perang dagang masih membuat sejumlah mata uang negara berkembang, termasuk rupiah mengalami tekanan terhadap dolar AS.

"Setelah AS memberlakukan tarif impor untuk barang Tiongkok senilai USD 200 miliar, Tiongkok pun membalas dengan memberlakukan tarif impor juga untuk barang AS senilai USD 60 miliar," paparnya.

Perang dagang itu, lanjut dia, kemungkinan akan terus berlanjut menyusul munculnya pernyataan Presiden AS Donald trump untuk segera mengusulkan pengenaan tarif fase ketiga jika China melakukan pembalasan.

Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada mengharapkan pemerintah dapat mengendalikan defisit neraca berjalan sehingga dapat menahan sentimen negatif eksternal.

"Setidaknya tidak menambah sentimen negatif yang beredar di pasar keuangan," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ekonom Senior UI Usul BI Kombinasikan Kebijakan Buat Stabilkan Rupiah

Untuk atasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperlukan bauran kebijakan. Jadi tidak cukup hanya menaikkan suku bunga acuan.

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro menyampaikan hal itu saat ditemui pada Selasa (18/9/2018).

"Jadi kalau dilihat dari efektifnya kalau seperti ini, perang dagang cara menghadapinya cadangan devisa dulu kemudian tingkat bunga digunakan untuk menaikkan ekpektasi bahwa BI ada di pasar. Dua-duanya harus dipakai," kata dia pada Selasa 18 September 2018. 

Oleh karena itu, kebijakan Bank Indonesia untuk menaikan suku bunga pun tidak akan cukup manjur untuk mengatasi depresiasi nilai tukar rupiah.

Dia menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini. Salah satunya adalah ancaman perang dagang yang mengganggu harapan pasar.

"Kalau tingkat bunga sendiri itu tidak efektif karena gangguannya itu sesuatu yang lain, sesuatu tidak berhubungan dengan tingkat bunga. Kalau di Amerika Serikat naik (suku bunga), dilawan dengan tingkat bunga, itu lawannya persis ya. Ini gangguan ekspektasi yang terjadi akibat Presiden Trump akan melakukan perang dagang yang baru," ujar dia.

"Ini harus ditunjukkan dengan rupiah kita masih bisa bertahan. Ada kebijakan lain yang mendukung. Itu membuat. 'Nanti dulu. Kita (investor) mau keluar dari Indonesia waktu kembali jangan rupiah menguat. Kalau begitu jangan semuanya ditarik'. Jadi mencoba mengatur ekpektasi supaya investor luar negeri tetap fokus bahwa Indonesia is the best," tambah dia.

Bank Indonesia (BI) pun perlu mengkombinasikan strategi menaikan suku bunga dengan berbagai kebijakan, seperti pengelolaan cadangan devisa dan intervensi pasar. Kombinasi kebijakan ini diharapkan dapat meyakinkan pelaku pasar perekonomian Indonesia masih kondusif.

"Memang ada negara lain yang lebih baik, tapi yang jelek juga lebih banyak. Kalau dijejerkan wah kita masih lumayan. Jadi kalau kembali ke pola rasional melihat portofolio, return-nya segala wah Indonesia kita masukan lagi,” ujar dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini