Sukses

Kenaikan PPh Impor untuk Tahan Pelemahan Rupiah Dinilai Tepat

Pemerintah sudah menaikkan tarif Pajak Penghasilan ( PPh) impor atau PPh pasal 22 atas 1.147 komoditas atau produk.

Liputan6.com, Jakarta Ketua DPR Bambang Soesatyo mendukung langkah pemerintah untuk menaikkan tarif pajak penghasilan (Pph) impor. Kebijakan mengendalikan impor dinilai tak salah saat situasi gejolak nilai tukar rupiah sedang terjadi.

Dia mengungkapkan, pemerintah sudah menaikkan tarif Pajak Penghasilan ( PPh) impor atau PPh pasal 22 atas 1.147 komoditas atau produk. Langkah ini dilakukan ketika durasi gejolak nilai tukar valuta, atau penguatan nilai tukar dolar AS, masih sulit diprediksi.

‎"‎Pengendalian impor bukan kebijakan yang salah. Karena itu, pimpinan DPR mendukung dan sepakat dengan keputusan ‎pemerintah itu," kata dia, Minggu (16/9/2018).

Bahkan Politikus Golkar ini mengatakan, Pimpinan DPR mendorong tim ekonomi pemerintah dan Bank Indonesia untuk terus mengkreasi penyesuaian kebijakan untuk menanggapi ketidakpastian kondisi global saat ini. Ketahanan ekonomi nasional sedang diuji, sehingga penyesuaian kebijakan memang diperlukan. 

Dia menilai, adalah fakta bahwa Indonesia bersama banyak negara lain sedang menyongsong ketidakseimbangan (disequilibrium) baru.

Hal ini dipicu gejolak nilai tukar valuta dan perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat (AS). Untuk mereduksi dampak dari ketidakseimbangan baru itu, Indonesia memang harus melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi.  

"Jika penyesuaian tidak segera dilakukan, Indonesia justru akan terlihat konyol.  Sebab, ketidakseimbangan baru itu akan menghadirkan beberapa dampak, yang langsung maupun tak langsung, akan membuat banyak orang tidak nyaman," ulas dia.

Namun, dia meminta setiap penyesuaian kebijakan hendaknya disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini guna menghindari salah pengertian atau salah persepsi. Misalnya, pemerintah harus tetap mengkalkulasi kebutuhan konsumsi masyarakat. Serta menjaga kebutuhan dan keberlanjutan aktivitas industri dalam negeri.

Sebagai contoh, dia menilai harus dilakukan impor bahan bakar minyak (BBM) dan belasan komoditi pangan secara regular. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Selain itu, secara regular, pemerintah harus melaksanakan kewajiban bayar atas utang luar negeri yang jatuh tempo. Dan untuk menjaga aktivitas industri dan produksi, impor komponen barang modal harus bisa diatur sedemikian rupa.

"Karena terjadi penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, pengeluaran atau nilai belanja impor oleh pemerintah dan swasta tentu saja mengalami pembengkakan," kata dia.

Pada titik itulah, pemerintah wajib untuk terus dan berani mengkreasi penyesuaian kebijakan. Ini agar negara tetap mampu melayani masyarakat, dan juga agar keuangan negara tetap dalam kondisi sehat dan terkendali.

"DPR berharap pemerintah tidak ragu untuk melakukan penyesuaian lainnya, kalau memang penyesuaian itu sangat diperlukan dan tak terhindarkan," dia menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Turunkan Batas Bebas Bea Masuk Barang Kiriman

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan baru terkait batasan pemberian fasilitas bebas bea masuk dan pajak impor untuk barang kiriman sebagai bagian dari upaya mengurangi defisit neraca perdagangan.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, kebijakan tersebut menurunkan batasan pemberian pembebasan bea masuk barang kiriman yang diimpor dari semula USD 100 menjadi paling banyak USD 75.

Heru menjelaskan bahwa penetapan batasan paling banyak USD 75 tersebut berasal dari rekomendasi Organisasi Kepabeanan Dunia atau The World Customs Organization (WCO).

Pembebasan bea masuk diberikan untuk setiap penerima barang per satu hari atau lebih dari satu kali pengiriman dalam waktu satu hari, sepanjang nilai pabean atas keseluruhan barang kiriman tidak melebihi USD 75.

Dalam hal nilai pabean barang kiriman melebihi batas nilai pabean, bea masuk dan pajak dalam rangka impor dipungut atas seluruh nilai pabean barang kiriman tersebut.

"Kalau seseorang dalam sehari melakukan tiga transaksi masing-masing USD 50, USD 20, dan USD 100, maka yang hanya dikenakan pembebasan bea masuk dan pajak impor adalah yang 50 dolar AS plus 20 dolar AS, sedangkan yang ketiga dikenakan tarif normal," jelas Heru seperti dikutip dari Antara, Sabtu (15/9/2018).

Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini dikeluarkan untuk memberi kesetaraan (level of playing field) kepada pelaku bisnis di dalam negeri, baik produsen maupun pedagang yang sudah patuh bayar pajak.

Aturan baru ini juga ditujukan untuk menumbuhkan industri dalam negeri supaya tidak hanya menikmati barang-barang yang eks-impor.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/2018 tentang Perubahan atas PMK Nomor 182/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman yang diundangkan pada 10 September 2018.

Peraturan menteri keuangan tersebut mulai berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Heru menjelaskan perubahan batasan pemberian fasilitas bebas bea masuk dan pajak impor menjadi perhatian pemerintah karena ada pihak yang memanfaatkan celah dari aturan ini.

Sebelum adanya aturan baru tersebut, pihak yang memanfaatkan celah mentransaksikan barang-barangnya di bawah USD 100 dan berulang-ulang supaya tidak kenakan pajak impor dan bea masuk.

"Bahkan ada satu orang mengimpor dari satu pemasok sebanyak 400 kali dalam sehari dengan jumlah total transaksinya puluhan ribu dolar AS, tetapi mereka memilih transaksinya atas barang-barang di bawah USD 100," ujar dia.

Jenis barang yang diimpor dengan cara tersebut mulai dari arloji, baju, sarung ponsel, hingga tas. Barang tersebut dipakai sebagai dagang tetapi tidak dinyatakan secara entitas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini