Sukses

Koreksi IHSG Jadi Momen Buru Saham Murah

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi tajam dinilai hanya sementara.

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi tajam dinilai hanya sementara. Tekanan terhadap IHSG tersebut dapat jadi momen berburu saham murah.

Pada penutupan perdagangan saham Rabu 5 September 2018, IHSG melemah 221,80 poin atau 3,76 persen ke posisi 5.683,50. Tekanan IHSG itu mendorong ke posisi terendah dalam satu tahun ini.

Analis PT Kresna Sekuritas, William Mahmudi menuturkan, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah membuat sentimen ke saham jadi lesu. Tekanan IHSG tersebut, menurut William juga biasa terjadi pada Agustus dan September.

"IHSG kecenderungan puncak tekanan jual itu pas pada Agustus dan September," ujar William saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Kamis (6/9/2018).

Ia menambahkan, IHSG berpotensi menguat secara teknikal. Namun, kalaupun melemah, IHSG turun terbatas. “Ada potensi technical rebound. IHSG sudah dekat level support 5.550,” ujar dia.

VP Sales and Distribution PT Ashmore Assets Management Indonesia, Angganata Sebastian menuturkan, koreksi IHSG hanya sementara. Hal itu didorong belum ada faktor fundamental yang menekan IHSG. “Fundamental belum banyak berubah. Concern hanya mengenai defisit,” ujar Angganata.

Seperti diketahui, Indonesia alami defisit transaksi berjalan capai tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal II 2018.

Dengan IHSG koreksi tajam, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), rata-rata price earning ratio (PER) 12,7 kali dan weighted average PER sekitar 18,2 kali pada Rabu 5 September 2018.

Angganata menuturkan, level IHSG mendorong saham-saham di BEI sudah murah. Namun, pasar saham masih cenderung volatile. Oleh karena itu, investasi di pasar saham menarik. Namun, ia mengingatkan untuk masuk ke pasar saham secara bertahap.

Direktur Perdagangan BEI, Laksono Widodo menuturkan, koreksi IHSG yang terjadi jadi momentum buat investor lokal. Hal ini lantaran harga saham sedang murah. Laksono menilai, tekanan IHSG yang terjadi didorong dari sentimen mata uang. "Tidak ada perubahan secara fundamental di pasar saham kita. Ini karena sentimen pergerakan mata uang," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Posisi Rupiah pada Perdagangan Kemarin

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Bahkan di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah sentuh 14.900 per dolar AS.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank, rupiah melemah 0,58 persen ke posisi 14.927 per dolar AS pada Rabu 5 September 2018 dari periode Selasa, 4 September 2018 di posisi 14.840 per dolar AS.

Sementara itu, data Bloomberg, rupiah dibuka menguat terhadap dolar AS. Rupiah menguat 10 poin ke posisi 14.925 per dolar AS dari penutupan kemarin di posisi 14.935. Rupiah bergerak di kisaran 14.925-14.933 pada Rabu siang ini. Nilai tukar rupiah juga sudah merosot 10,17 persen sejak awal tahun.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah lebih didorong sentimen eksternal. Hal itu sebagai dampak dari kekhawatiran efek menularnya krisis keuangan di Turki dan Argentina terhadap negara berkembang.

"Sentimen cukup negatif di negara berkembang terutama di pasar keuangan mulai dari saham, obligasi. Perspektif investor global terhadap emerging market mulai dari Turki hingga Afrika Selatan berpotensi krisis buat kepanikan dan kekhawatiran," ujar Josua saat dihubungi Liputan6.com.

Sentimen kekhawatiran krisis Turki, Argentina dan Afrika Selatan berimbas terhadap negara berkembang yang alami defisit transaksi berjalan yang cenderung naik.

Defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal II 2018 atau sekitar USD 8 miliar.

Meski demikian, menurut Josua, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih jauh lebih stabil dibandingkan ekonomi negara berkembang lainnya. "Ini bukan semata-mata faktor fundamental, tetapi sentimen. Dikhawatirkan ada penularan krisis, tetapi kondisi kita (Indonesia) sangat kuat," kata dia.

Josua menambahkan, Indonesia memiliki bantalan kuat mulai dari cadangan devisa dan suplai dolar AS. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa Indonesia tercatat USD 118,31 miliar pada 31 Juli 2018.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah prioritaskan untuk jaga kestabilan nilai tukar rupiah. Pemerintah dan BI koordinasi untuk implementasi kebijakan yang dapat tekan defisit neraca transaksi berjalan.

Selain itu, diharapkan pemerintah dapat melakukan komunikasi dengan investor dan menjelaskan kalau kondisi ekonomi Indonesia lebih baik. Hal ini dilakukan agar mencegah aliran dana investor asing keluar dari Indonesia.

"Kebijakan kurangi impor barang tidak produktif seperti barang mewah. Bank Indonesia juga day to dayintervensi di pasar dengan beli SUN. Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun sudah 8,4 persen kalau tidak diintervensi bisa lebih besar. Ini dalam jangka pendek bisa menahan sentimen negatif yang berkembang," kata dia.

Josua menilai, jangan membandingkan kondisi nilai tukar rupiah pada 1998 dengan saat ini. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia lebih kuat. “Kalau 1998 rupiah depresiasi sekitar 200 persen. Saat ini dari awal tahun rupiah bergerak di kisaran 13.800 sekarang sekitar 15 ribu, melemah 11 persen,” ujar dia.

Namun, memang upaya menstabilkan rupiah tetap diperlukan untuk menjaga sektor riil.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Saham adalah hak yang dimiliki orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagai dalam pe

    Saham

  • IHSG