Sukses

Efek Krisis Turki Terbatas terhadap Ekonomi Indonesia

Indonesia dinilai juga harus mewaspadai defisit transaksi berjalan tembus tiga persen pada kuartal II 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia tertekan sejak awal pekan ini. Dua komponen utama menjadi penyebab tertekannya kondisi pasar di Indonesia.

Pertama, menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mayoritas mata uang negara berkembang. Kedua, memburuknya sentimen terhadap negara berkembang akibat krisis mata uang Turki, Lira yang terjadi pada beberapa hari ini.

Sejak awal tahun (year to date/ytd), rupiah melemah 7,59 persen terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) koreksi 1,73 persen. Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun tembus level psikologis 8 persen.

Budi Hikmat, Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management mengatakan, dampak krisis mata uang Turki terhadap ekonomi Indonesia relatif terbatas.

Lantaran, sejauh ini perbankan Indonesia tak memiliki eksposure terhadap surat berharga Turki. Akan tetapi, memburuknya ekonomi Turki akibat twin deficit (fiskal dan neraca berjalan) telah menyeret pasar modal Indonesia.

"Secara fundamental, ekonomi Indonesia jauh lebih prudent (hati-hati) dibanding negara lain. Kita jauh dari overheated situation, di mana pertumbuhan kredit lebih lambat tingkat inflasi kuartal 2 masih terjaga,” ungkap Budi Hikmat, dalam keterangan tertulis Rabu (15/8/2018).

Sebagai perbandingan, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh dari situasi overheated dibandingkan Turki. Secara fundamental, pengelolaan ekonomi Turki saat ini kurang sehat dan memburuknya defisit kembar yang ditaksir sekitar 9 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan data Bloomberg, proyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) berkisar 6,4 persen pada akhir tahun. Di samping itu, kondisi politik dengan Presiden Amerika Serikat semakin memperburuk situasi.

Kurs mata uang Lira terhadap dolar AS telah anjlok 70,99 persen, imbal hasil obligasi negara Turki meningkat hingga 22 persen sepanjang tahun berjalan. Sementara, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup baik.

Defisit neraca berjalan (CAD) Indonesia pada kuartal II-2018 sebesar 3 persen dari Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Tingkat inflasi Indonesia pun jauh lebih rendah, yakni 3,2 persen dibandingkan tingkat inflasi Turki sebesar 15,9 persen.

Tingkat pengangguran Indonesia sebesar 5,1 persen, sementara Turki sebesar 10,5 persen. Akan tetapi, Budi mengingatkan agar pemerintah Indonesia harus berhati-hati dengan defisit transaksi berjalan yang telah menembus angka 3 persen terhadap PDB.

"Ini menjadi alarm untuk Indonesia, agar kembali mengaktifkan mesin pendulang valas. Jika tidak, CAD akan terus tertekan," papar Budi.

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Apresiasi Langkah Pemerintah Tekan Impor

Saat ini, lanjut Budi, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara dan migas. Sementara ekspor non migas turun di tengah kenaikan harga impor bahan baku dan barang modal.

Adapun, terjadi defisit pada sektor neraca migas akibat impor migas seiring kenaikan harga minyak global dan permintaan minyak lebih tinggi selama lebaran dan liburan sekolah. Adapun, untuk menekan defisit transaksi berjalan, pemerintah Indonesia pekan ini mengumumkan sejumlah langkah untuk mengendalikan impor, baik pada barang konsumsi, bahan baku dan barang modal.

PT Bahana TCW Investment Management mengapresiasi positif langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki neraca pembayaran.

"Pemerintah harus mempercepat upaya untuk memanfaatkan penguatan dollar dan kenaikan harga energi minyak baik melalui kebijakan substitusi energi (B20 biodiesel) dan memacu pariwisata dan manufaktur yang bisa menghasilkan devisa bagi negara," papar Budi.

Budi juga menyarankan agar bank sentral tak perlu menaikkan suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate kali ini.

"Real interest rate sudah positif. Sementara pertumbuhan kredit belum sesuai harapan. Pelemahan rupiah lebih disebabkan impor minyak yang mencapai 18,6 persen yoy sejak Januari hingga Mei tahun ini," kata dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.