Sukses

Pengusaha Minta Insentif Pajak buat Genjot Ekspor

Apindo menilai belum kuatnya industri dalam negeri karena belum tersedia bahan baku sehingga memakai bahan baku impor.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Apindo Bidang Hubungan Internasional dan Investasi, Shinta Widjaja Kamdani angkat bicara mengenai Indonesia masih alami defisit perdagangan.

Dia mengatakan salah satu faktor penyebab belum moncernya kinerja industri dalam negeri karena belum tersedianya bahan baku. Mayoritas produk ekspor, kata Shinta, menggunakan bahan baku yang diimpor.

"Kalau kita mau meningkatkan ekspor kita harus memastikan ketersediaan bahan bakunya. Mayoritas produk ekspor kita bahan bakunya masih impor. Jangan sampai impor dipersulit karena akan berpengaruh kepada ekspor. Kita masih perlu waktu untuk mengembangkan industri nasional kita tanpa mengimpor karena bahan bakunya belum siap," ujar dia saat ditemui, di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, seperti ditulis Sabtu (28/7/2018).

Insentif fiskal pun masih diperlukan pengusaha. Insentif perpajakan khusus bagi pengusaha yang bergerak di sektor ekspor sangat dibutuhkan untuk mendorong peningkatan kinerja. 

"Pemerintah tanyakan insentif apa yang kita inginkan supaya ekspornya lebih tinggi dan memulangkan dana-dana yang ada di luar negeri," ujar Shinta.

"Kalau kita lihat, insentif fiskal seperti tax allowance dan tax holiday hubungannya lebih banyak ke investasi, penanaman modal untuk membuat perusahaan. Tapi yang kita butuhkan yang segera, fasilitas pajak yang bisa dimanfaatkan langsung oleh eksportir, baik itu PPn ataupun PPh," tambah dia.

"Sebenarnya kalau kita lihat, jasa-jasa ekspor juga cukup besar dan banyak yang belum dapat fasilitas. Itu mungkin kita bisa perhatikan. Selain itu, suku bunga. Selama ini kalau dari segi perbankan suku bunga untuk eksportir juga masih cukup tinggi. Apakah bisa keringanan suku bunga? Itu insentif-insentif yang diharapkan," kata dia.

Aspirasi dan harapan pengusaha ini telah disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo dalam pertemuan beberapa waktu lalu. saat ini Pemerintah tengah meninjau usulan-usulan tersebut.

"Ini sedang dievaluasi apa persisnya yang dibutuhkan. Ini saya rasa perlu analisa lebih lanjut, paling tidak itikad baik dari pemerintah memberikan insentif tapi apa persisnya (bentuk insentif yang harus dberikan) perlu analisa lebih jauh," ujar dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Redam Defisit Perdagangan, Pemerintah Perketat Barang Impor

Sebelumnya, Pemerintah perketat barang impor untuk menaikkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan meredam defisit neraca perdagangan Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengakui masih ada kebocoran barang diimpor, meski sudah diproduksi di dalam negeri. Barang impor tersebut kebanyakan digunakan sektor minyak dan gas bumi (migas).

"Kita lihat, kacamata bea cukai kenapa kok barang masih lolos. Kita lihat end to end analisisis-nya. Bea cukai mekanik, boleh atau tidaknya barang masuk itu dari ESDM," kata Mardiasmo, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa 24 Juli 2018.

Padahal pemerintah telah menetapkan kriteria barang yang boleh diimpor, yaitu jika barang itu tidak ada di dalam negeri, jika barang ada tapi tidak mencukupi  dan jika barang  ada tapi tidak sesuai dengan spesifikasi.

"Melalui kacamata Kementerian Keuangan terutama Bea Cukai supaya barang-barang itu bisa diproduksi dalam negeri, ada stoknya, kriterianya ada tiga," ucap Mardiasmo.

Untuk meredam impor barang, Kementerian Keuangan bersama tim dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), memperbaiki daftar barang yang bisa diimpor.

Hal ini akan dilakukan secara berkala setiap tiga bulan, agar mengikuti perkembangan kebutuhan barang. "Makanya ini kita perbaiki, sama dengan tim SKK Migas juga. Kita mau optimalkan dalam negeri," tutur dia.

Mardiasmo mengatakan, pengetatan barang impor bertujuan untuk meredam defisit neraca perdagangan, serta meningkatkan penggunaan barang produksi dalam negeri.

"Kalau barang itu ada dan spesifikasinya masuk kenapa kita harus impor? Bikin defisit. Misalnya pipa, ada barang yang larangan terbatas dibutuhkan itu  yang jadi negatif list itu yang kita sinkronkan. Datanya ada tapi tahunan sementara selama satu tahun itu terjadi perubahan di lapangan," kata dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.