Sukses

Hadapi Perang Dagang, China Sengaja Lemahkan Yuan

Yuan tercatat melemah sebesar 5 persen dalam dua bulan terakhir.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan mata uang China, Yuan tercatat melemah sebesar 5 persen dalam dua bulan terakhir.

"Tiongkok itu ternyata tadinya tidak terlalu melemah, tapi dua bulan terakhir pelemahannya 5 persen, dua bulan terakhir masuk periode trade war (perang dagang)," ungkapnya saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Rabu (25/7/2018).

Dia mengatakan, pelemahan Yuan ini merupakan bagian dari strategi China untuk menghadapi ancaman perang dagang dengan Amerika Serikat. "Jadi kelihatannya Tiongkok dalam menghadapi trade war itu mengambil langkah memang membiarkan mata uangnya melemah karena dia ingin supaya, saya kira supaya ekspornya lebih murah di mana-mana," jelas Darmin.

 "Selain itu sebenarnya yang mereka lakukan adalah bank sentralnya menyalurkan dana ke dunia perbankan termasuk mengubah semacam giro wajib dalam jumlah yang cukup besar. Itu semua menunjukkan bahwa mereka memang secara sadar menginginkan mata uangnya melemah," imbuhnya.

Pelemahan mata uang regional terhadap dolar pun masih berjalan. Dia mengatakan faktor utama masih disebabkan oleh kebijakan moneter yang dijalankan Amerika Serikat.

"Kita melihat pelemahan mata uang di regional itu kan masih berjalan walaupun makin kecil-kecil perubahannya. Sebenarnya penyebabnya bukan langkah yang ditempuh Tiongkok, tapi bank sentral Amerika juga menjelaskan mereka akan firm untuk mendorong supaya istilah yang mereka pake inflasinya meningkat. Artinya mereka akan menaikkan suku bunga," tandasnya.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Awal mula perang dagang

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memaparkan kondisi terkini ekonomi global dan domestik.

Hal itu disampaikan Darmin Nasution saat menjadi salah satu pembicara dalam acara Diklat Sekolah Pimpinan Departemen Luar Negeri (Sesparlu) Angkatan ke 59 dengan tema Economic Trend : Global Phenomenon and Its Implication to Indonesia.

Darmin mengatakan, dalam perkembangan ekonomi global kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden AS, Donald Trump memang membawa banyak guncangan bagi seluruh negara.

Salah satunya perang dagang yang terjadi antara AS dan China dengan menaikkan bea masuk atas produk dari kedua negara.

Pada awalnya Trump mengenakan bea masuk atas produk milik China untuk memperbaiki tingkat inflasi di negara Paman Sam tersebut. Tahap pertama, AS hanya mengenakan bea masuk terhadap barang China yang paling laris dijual di AS.

"Perang dagang itu dimulai. Dia (AS) bilang kita mau kenakan bea masuk ke barang barang yang banyak di ekspor China ke AS. Ke Eropa juga kena sebetulnya tapi produk baja, alumunium sudah dikenakan lebih dulu bea masuknya oleh Trump. Kemudian, terhadap China ditambah sejumlah produk dia sedang hebat-hebatnya berkembang," ujar Darmin di Gedung Pusdiklat Kemenlu, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Kebijakan AS mengenakan bea masuk ini langsung mendapat respons dari pihak China. Secara terang-terangan China juga berusaha mengenakan bea masuk terhadap beberapa komoditas yang diimpor dari AS.

"Kalau itu terjadi ya tentu saja China tidak terima karena dia yang paling dirugikan. Maka cara dia adalah dia kenakan lagi bea masuk ke sejumlah produk AS yang banyak dia impor. Sehingga sama-sama kena tapi tidak semua barang," ujar Darmin.

Usaha China membalas pengenaan bea masuk ini dinilai oleh Pemerintahan Trump sebagai upaya untuk perang dagang. Beberapa waktu kemudian, Trump mengambil kebijakan untuk mengenakan bea masuk terhadap sebagian besar produk yang diimpor dari China.

"Tapi AS kelihatannya menganggap mestinya China tidak melawan. Sehingga dia akan bilang itu salah china berani melawan. Kita mau kenakan lagi bea maduk ke lebih banyak barang dari China. Kalau begitu akan ada eskalasi dan benar benar perang dagang," tutur dia.

Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menjelaskan, perang dagang antara China dan AS sebenarnya tidak berpengaruh banyak terhadap kondisi ekonomi Indonesia.

Namun yang harus diwaspadai adalah banjirnya produk dari kedua negara tersebut karena berusaha mencari pasar baru dengan tingkat bea masuk lebih rendah.

"Buat kita dalam periode jangka pendek kalau soal kedelai kita. Itu jangan salah kita itu makan tempe dan tahu kedelainya dari AS. Jadi made in AS tempe dan tahu. Kita enggak terpengaruh itu karena yang mengenakan bea masuk China," kata dia.

"Tetapi China dalam kesulitan dia ekspor baja dan alumunium panel surya barang barang elektronik kira kira apa yang akan dia lakukan karena sulit dijual di AS harganya naik ya dia jual ke sini dan itu berarti akan ada serbuan produk China yang dikenakan bea masuk oleh AS ke sini," tambah dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.